Secara etimologi kata Wadi’ah berasal dari wada asy syai-a
yaitu meninggalkan/titip sesuatu. Yakni sesuatu yang seseorang tinggalkan pada
orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang
yang sanggup menjaga. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai
titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Sedangkan secara terminologi, wadi’ah dapat didefinisikan
dengan “memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau
barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang menunjukkan
hal itu.” Sedangkan dalam Peraturan Bank Indonesia[1], wadi’ah didefinisikan dengan “penitipan
dana atau barang pada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban pihak yang
menerima titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu.”
Menurut
bahasa wadiah artinya yaitu : meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakan
sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga.
Menurut
istilah wadiah artinya yaitu : memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk
menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan
isyarat yang semakna dengan itu.
Ada 2 definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh yaitu:
1.
Ulama
mahzab hanafi mendefinisikan
“mengikut sertakan orang lain dalam
memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun yang isyarat.”
2. Ulama mahzab hambali, syafi’I dan maliki
( jumhur ulama ) mendifinisikan wadiah sebagai berikut: “mewakilkan orang lain untuk memelihara harta
tertentu dengan cara tertentu”
Sedangkan
tokoh-tokoh ekonomi perbankan berpendapat bahwa wad’iah adalah akad penitipan
barang atau uang kepada pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk
menjaga keselamatan, keamanan dan keutuhan barang atau uang tersebut.
Wadi’ah diterapkan mempuyai landasan hukum yang kuat yaitu
dalam Al-Quran surah An-Nisa 58 :
“sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.”
Surah
Al-Baqarah ayat 283:
“Jika
kamu dalam perjalaan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) menyembuyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembuyikan, maka
sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya dan Allah maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Dan dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
bersabda : “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan
janganlah membalas khianat kepada orang yang menghianatimu. (H.R Abu Daud
dan Tirmidzi)
- Ijma’ ulama[2] membolehkan wadi’ah karena kebutuhan manusia terhadap hal
tersebut.
Kemudian berdasarkan fatwa dewan syari’ah nasional (DSN)
No:01/DSN-MUI/IV/2000. Menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari;ah
yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan
berdasarkan fatwa DSN No:02//DSN-MUI/IV/2000. Menyatakan bahwa tabungan yang
dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip mudharabah dan wadi’i
Dan
dalam makalah ini akan sedikit pembahasan tentang giro wadiah dan tabungan
wadiah.
Ulama golongan Hanafiyah [3]berpendapat
bahwa rukun wadi’ah adalah ijab dan Kabul. Sedangkan menurut jumhur ulama[4] rukun
wadi’ah ada 4, yaitu:
1. Muwaddi ( orang yang
menitipkan )
2. Wadi’I ( orang yang
dititipi barang )
3. Wadi’ah ( barang
yang dititipkan )
4. Shigot ( Ijab dan
qobul )
Yang dimaksud dengan syarat rukun di sini adalah persyaratan
yang harus dipenuhi oleh rukun wadiah. Dalam hal ini persyaratan itu mengikat
kepada Muwaddi’, wadii’ dan wadi’ah. Muwaddi’ dan wadii’
mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa.
Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam
kekuasaan/ tangannya secara nyata.
Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua
belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja, karena dalam
wadiah terdapat unsur permintaan tolong maka memberikan pertolongan itu adalah
hak dari wadi’i. Kalau ia tidak mau maka tidak ada keharusan untuk menjaga
titipan.
Namun kalau wadi’I mengharuskan pembayaran semacam biaya
administrasi maka akad wadi’ah ini berubah menjadi akad sewa “ijaroh” dan
mengandung unsur kelaziman. Artinya wadi’I harus menjaga dan bertanggung jawab
terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadi’I tidak dapat membatalkan
akad ini secara sepihak kerena sudah dibayar.
Barang yang bisa di wadi’ahkan
adalah seperti:
1. Harta benda
2. Uang
3. Dokumen penting (saham, obligasi surat perjanjian
dll)
Tangan yang amanah;
Titipan murni tanpa ganti rugi; Termasuk bagian dari wadi’ah (titipan). Dengan
konsep wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan
memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar
menjaganya sesuai kelaziman.
Pada saatnya barang
titipan tersebut diminta kembali oleh pemiliknya, yang menjaga barang titipan
tersebut harus mengembalikannya dalam keadaan utuh seperti sediakala. Barang
titipan tersebut tidak boleh digunakan atau dipindahkan kepada pihak lain oleh
penjaganya untuk mendapatkan keuntungan.
Ketentuan pokok pada
operasional wadi’ah yad al-amanah :
a.
Harta atau barang yang dititipkan tidak
boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan;
b.
Penerima titipan hanya berfungsi sebagai
penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang
dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya
Mengingat
barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima
titipan.
Akad
penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dapat memanfaatkan
barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau
kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh
dalam penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak penerima titipan.
Tangan
yang menanggung; Titipan dengan resiko ganti rugi. Sebagai konsekuensi dari yad
ad-dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut milik
mustawda’ (demikian juga ia adalah penanggung seluruh kemungkinan kerugian).
Titipan
dengan garansi, yang artinya mustawda’ (orang yang mendapat titipan barang/uang
tersebut) dapat menggunakan atau memanfaatkannya sebagai modal untuk mendapat
keuntungan, sepanjang barang/uang tersebut dapat dipastikan (garansi) akan
dikembalikan kepada pemiliknya dalam keadaan utuh.
Dimana mustauda’ dapat memanfaatkan dana
dari muwaddi’ untuk dikelola dan mustawda’ dapat menjamin dana tersebut kembali
pada muwaddi’ dalam keadaan utuh atau tidak berkurang sepeserpun.
Apabila mustauda’ mendapatkan keuntungan
dan ingin membagikan kepada muwaddi’, mustauda’ bisa memberikannya sebagian
keuntungannya itu sebagai hibah (hadiah) kepada muwaddi’, dengan catatan,
pembagian keuntungan tersebut tidak diperjanjikan di muka atau sebelum
mustauda’ memanfaatkan dana muwaddi’ tersebut.
Ketentuan
pokok dalam operasional wadi’ah yad ad-dhamanah:
a. Harta
dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima
titipan;
b. Karena
dimanfaatkan, barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat
menghasilkan manfaat.
Giro
wadi’ah adalah “simpanan pihak ketiga pada bank syariah (perorangan atau badan,
dalam mata uang rupiah atau valuta asing) dengan prinsip syariah yang penarikannya
dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan menggunakan cek, bilyet giro atau pemindah
bukuan”.
Dari
pengertian diatas, prinsip wadi’ah yang digunakan adalah prinsip wadi’ah yad
dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai penitip (Wadi’i) yang
memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang
titipannya. Sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi (Muwaddi)
disertai hak untuk mengelola dana titipan. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana ditanggung bank,
sedangkan pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
Namun demikian, bank diperkenankan untuk memberikan intensif berupa bonus
dengan syarat tidak boleh diperjanjikan dimuka.
Karakteristik giro wadi’ah adalah:
1. Dana giro wadi’ah dapat digunakan oleh bank
untuk kegiatan komersial
2. Keuntungan dan kerugian dari penyaluran dana
wadi’ah menjadi hak yang harus ditanggung oleh bank.
3.
Pemilik dana wadi’ah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu, sebagian atau
seluruhnya
4. Penarikan menggunakan cek, bilyet giro, atau
dengan pemindah bukuan.
5.
Bank dapat memberikan bonus namun tidak diperjanjikan di muka
Pengertian
tabungan wadi’ah dijelaskan oleh Wiroso dalam bukunya penghimpunan dana dan
distribusi hasil usaha bank syariah yaitu adalah “titipan pihak ketiga kepada
bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu
yang disepakati dengan kwitansi, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya
atau dengan cara pemindah bukuan”.
Dari
pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa dalam prinsip syariah sebenarnya
tabungan juga merupakan simpanan sementara untuk menentukan pilihan apakah
untuk konsumsi yang dapat ditarik setiap saat. Dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional ditetapkan ketentuan mengenai tabungan wadiah yaitu:
1. Bersifat
sementara
2. Simpanan
bias diambil kapan saja atau berdasarkan kesepakatan
3. Tidak
ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari pihak bank
Hukum Menerima Benda
Titipan
Hukum
menerima benda titipan dapat di bagati atas 5 yaitu:
a.
Haram
Hukum
menerima benda titipan dapat berhukum haram jika orang yang dititipi yakin
dirinya akan berkhianat, atau tidak kuasa dan tidak sanggup memelihara benda-benda
titipan. Karena jika ia menerima titipan artinya memberikan kesempatan (peluang
bagi) kepada kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan sehingga akan
menyulitkan pihak yang menitipkan.
b.
Makruh
Hukum menerima benda
titipan dapat berhukum makruh jika seseorang percaya pada dirinya sendiri bahwa dia
mampu menjaga benda-benda titipan tetapi ia kurang yakin (ragu) pada
kemampuannya, maka bagi orang seperti ini dimakruhkan untuk menerima titipan,
karena orang yang dititipi khawatir akan berkhianat
(was-was).
c.
Mubah
Hukum menerima benda
titipan dapat berhukum mubah (boleh) jika seorang mengatakan kepada si penitip
bahwa dirinya khawatir akan berkhianat namun si pentitip yakin dan tetap
mempercayai bahwa orang tersebut dapat diberikan amanah.
d.
Sunnah
Disunnahkan menerima titipan bagi orang
yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang
dititipkan kepadanya. Wadia’ah adalah salah satu bentuk tolong-menolong yang
diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an, tolong-menolong secara umum hukumnya
sunnah. Hal ini, dianggap sunnah menerima benda titipan ketika ada orang lain
yang pantas pula untuk menerima titipan.
e. Wajib
Hukum menerima benda
titipan dapat berhukum wajib jika tidak ada orang jujur dan layak selain
dirinya. Diwajibkan menerima
benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa dirinya sanggup menerima
dan menjaga benda-benda tersebut sementara orang lain tidak ada seorangpun yang
dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda tersebut.
Wadi’ah
yad-Amanah Berubah Menjadi Wadi’ah yad-Dhamanah
Kemungkinan
perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dhamanah (ganti
rugi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1. Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang
dititipi. Dengan demikian halnya apabila ada orang lain yang akan merusaknya,
tetapi dia tidak mempertahankannya, sedangkan dia mampu mengatasi
(mencegahnya).
2. Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi, kemudian
barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang titipan seharusnya
dipelihara, bukan dimanfaatkan.
3. Orang yangdititipi mengingkari ada barang titipan kepadanya. Oleh
sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah disebutkan jenis barangnya dan
jumlahnya ataupun sifat-sifat lain, sehingga apabila terjadi keingkaran dapat
ditunjukkan buktinya.
4. Orang yang menerima titipan barang itu,
mencampuradukkan dengan bangan pribadinya sehingga sekiranya ada yang rusak
atau hilang, maka sukar untuk menentukannya, apakah barangnya
sendiri yang rusak (hilang) atau barnag titipan itu.
5. Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang
dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat penyimpanan dan
syarat-syarat lainnya.
Keuntungan
(Laba) dalam Wadi’ah
Beberapa
ulama berpendapat mengenai pengambilan laba atau bonus dalam wadi’ah, yaitu:
1.
Menurut ulama syafi’iyah,
tidak boleh mengambil keuntungan atau bonus yang tidak disyaratkan diawal akad
ketika memanfaakan barang yang dititipkan dan akadnya bisa dikatakan gugur.
2.
Menurut
ulama Maliki
dan Hambali
dapat menerima bonus yang diberikan oleh orang yang dititipi.
3.
Sedangkan imbalan yang
diterima dari bank berupa bunga, maka ulama Hanafiah mengatakan keuntungan
tersebut harus disedekahkan, sedangkan menurut ulama Maliki
keuntungan tersebut harus diserahkan ke baitul mal (kas negara).
Jaminan
Wadiah
Menurut
ulama malikiyah, sebab adanya jaminan adalah:
a.
Menitipkan barang selain
penerimaan titipan (wadi’) tanpa uzur sehingga ketika minta dikembalikan,
wadiah sudah hilang
b.
Pemindahan wadi’ah dari
negara kenegara lain berbeda dengan pemindahan dari rumah
kerumah
c. Mencampur adukkan wadiah
dengan sesuatu yang tidak bisa dibedakan
d. Pemanfaatan wadiah
e. Meletakkan titipan pada
tempat yang memungkinkan untuk hilang atau rusak.
f. Menyalahi cara
pemeliharaan.
Menurut
ulama syafi’iyah sebab adanya jaminna adalah:
a. Meletakkan
wadiah pada orang lain tanpa izin
b. Meletakkan
pada tempat yang tidak aman
c. Pemindahan
ketempat yang tidak aman
d. Melalaikan
kewajiban menjaganya
e. Berpaling
dari menjaga sehingga barang rusak
f. Memanfaatkan
wadiah
Menurut
ulama Hanabilah,
sebab adanya jaminan adalah:
a. Menitipkan
pada orang lain tanpa ada uzur
b. Melalaikan
pemeliharaan barang
c. Menyalahi
pemeliharaan yang telah disepakati
d. Mencampurkan
dengan barang yang lain sehingga sulit untuk dihilangkan
e. Pemanfaatan
barang
RUSAK DAN HILANGNYA BENDA TITIPAN
Jika
mustauda’ (orang yang menerima titipan) mengaku bahwa benda-benda titipan telah
rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya, maka ucapannya harus disertai
sumpah supaya perkataannya itu kuat kedudukannya menurut hukum.
Namun
Ibnu Munzir rh berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah dapat diterima
ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.
Menurut
Ibnu Taimiyah rh, apabila seseorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku
bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola
tidak ada yang mencuri, maka mustauda’ tersebut wajib menggantinya.
Pendapat
Ibnu Taimiyah rh ini berdasarkan pada sejarah bahwa Umar ra pernah meminta
jaminan dari Anas bin Malik ra ketika barang titipannya yang ada pada Anas bin
Malik ra dinyatakan hilang, sedangkan harta Anas ra masih ada.
Orang
yang meninggal dunia dan terbukti padanya terdapat benda-benda titipan dan
benda-benda titipan tersebut tidak ditemukan maka ini menjadi hutang bagi
penerima titipan dan wajib dibayar oleh ahli warisnya.
Bila
seseorang menerima benda-benda titipan sudah sangat lama waktunya sehingga ia
tidak lagi mengetahui dimana atau siapa pemiliknya benda-benda tersebut dan
sudah berusaha mencarinya namun tidak dapat diperoleh keterangan yang jelas
maka benda-benda tersebut dapat digunakan untuk keperluan pribadinya.
WAKALAH
PENGERTIAN
WAKALAH
Dari sekian banyak
akad-akad yang dapat diterapkan dalam kehidupan manusia. Wakalah termasuk
salah satu akad yang menurut kaidah Fiqh Muamalah, akad Wakalah dapat
diterima. Wakalah itu berarti perlindungan (al-hifzh),
pencukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhamah), atau
pendelegasian (al-tafwidh), yang diartikan juga dengan memberikan kuasa
atau mewakilkan. Adapula pengertian-pengertian lain
dari Wakalah yaitu:
- Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan,
pendelegasian, atau pemberian mandat.
- Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang
sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal
yang diwakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu
sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan oleh pihak pertama, namun
apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai yang disyaratkan, maka semua
resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan perintah tersebut sepenuhnya
menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa.[5]
Sedangkan
wakalah, menurut terminologi para ulama memberikan definisi yang beragam,
diantaranya : Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa al-wakalah adalah : “Seseorang
menempati diri orang lain dalam tasharruf (pengelolaan)”, sedangkan ulama
Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa al-wakalah adalah :
“Seseorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika
hidupnya.”
PANDANGAN ULAMA
Wakalah memiliki beberapa makna yang cukup berbeda menurut
beberapa ulama. Berikut adalah pandangan dari para ulama:
- Menurut
Hashbi Ash Shiddieqy, Wakalah adalah akad penyerahan
kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai
penggantinya dalam bertindak (bertasharruf).
- Menurut
Sayyid Sabiq, Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh
seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.
- Ulama Malikiyah, Wakalah adalah
tindakan seseorang mewakilkan dirinya kepada orang lain untuk melakukan
tindakan-tindakan yang merupakan haknya yang tindakan itu tidak dikaitkan
dengan pemberian kuasa setelah mati, sebab jika dikaitkan dengan tindakan
setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat.
- Menurut
Ulama Syafi’iah mengatakan bahwa Wakalah adalah suatu
ungkapan yang mengandung suatu pendelegasian sesuatu oleh seseorang kepada
orang lain supaya orang lain itu melaksanakan apa yang boleh dikuasakan
atas nama pemberi kuasa.
DASAR HUKUM WAKALAH
Menurut agama
Islam, seseorang boleh mendelegasikan suatu tindakan tertentu kepada orang lain
dimana orang lain itu bertindak atas nama pemberi kuasa atau yang mewakilkan
sepanjang hal-hal yang dikuasakan itu boleh didelegasikan oleh agama. Dalil
yang dipakai untuk menunjukkan kebolehan itu, antara lain :
a. Al-Qur’an
·
QS Al-Kahfi (18:19).
“Dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar
mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di
antara mereka: sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab:
“Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi):
“Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah
salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini,
dan hendaklah Dia Lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa
makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan hal mu kepada seorangpun.”
·
QS Al-Baqarah (2:283).
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan
persaksian. Dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
·
QS An-Nisaa (4:35).
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
·
QS Yusuf (12:55).
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) ;
Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.
b.
Al-Hadits:
Banyak hadits yang
dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah, diantaranya:
·
“Bahwasanya
Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilkannya
mengawini Maimunah binti Al Harits”. HR. Malik dalam al-Muwaththa’)
·
“Perdamaian
dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan
yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.” (HR
Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)
Dalam kehidupan
sehari-hari, Rosulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai
urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan
membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lain.
c.
Ijma’:
Para ulama pun
bersepakat dengan ijma’ atas diperbolehkannya Wakalah. Mereka
bahkan ada yang cenderung mensunahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut
termasuk jenis ta’awun atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa.
Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunahkan oleh Rasulullah.
Allah
berfirman:
QS
Al-Maa-idah (5:2). “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Dan Rasulullah pun
bersabda “Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya”.
RUKUN DAN SYARAT-SYARAT DALAM WAKALAH
Menurut kelompok
Hanafiah, rukun Wakalah itu hanya ijab qabul. Ijab merupakan
pernyataan mewakilkan sesuatu dari pihak yang memberi kuasa dan qabul adalah
penerimaan pendelegasian itu dari pihak yang diberi kuasa tanpa harus terkait
dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu. Akan tetapi, jumhur ulama tidak
sependirian dengan pandangan tersebut. Mereka berpendirian bahwa rukun dan
syarat Wakalah itu adalah sebagai berikut:
a.
Orang
yang mewakilkan (Al-Muwakkil)
i.
Seseoarang
yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk bertasharruf
pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak akan sah
jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
ii. Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang
dikuasakannya, disisi lain juga dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap
bertindak atau mukallaf. Tidak boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum
dewasa yang cukup akal serta pula tidak boleh seorang yang gila. Menurut
pandangan Imam Syafi’I anak-anak yang sudah mumayyiz tidak berhak memberikan
kuasa atau mewakilkan sesuatu kepada orang lain secara mutlak. Namun madzhab
Hambali membolehkan pemberian kuasa dari seorang anak yang sudah mumayyiz pada
bidang-bidang yang akan dapat mendatangkan manfaat baginya.
b. Orang yang diwakilkan. (Al-Wakil)
i.
Penerima
kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang mengatur
proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu syarat bagi
pihak yng diwakilkan.
ii.
Seseorang
yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk menjalankan amanahnya
yang diberikan oleh pemberi kuasa. Ini berarti bahwa ia tidak diwajibkan
menjamin sesuatu yang diluar batas, kecuali atas kesengajaanya,
c. Obyek yang diwakilkan (muwakal fih)
i.
Obyek
mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli,
pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak yang
memberikan kuasa.
ii. Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan
sesuatu yang bersifat ibadah badaniyah, seperti shalat, dan boleh menguasakan
sesuatu yang bersifat ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan
sejenisnya. Selain itu hal-hal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan
pihak yang diwakilkan.
iii. Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain.
Sehingga obyek yang akan diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar
Syari’ah Islam.
d. Shighat
i.
Dirumuskannya
suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Dari mulai aturan
memulai akad wakalah ini, proses akad, serta aturan yang mengatur berakhirnya
akad wakalah ini.
ii. Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi
kuasa kepada penerima kuasa
iii. Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan
untuk dan atas pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.
FATWA MUI WAKALAH
Seiring dengan
berkembangnya institusi keuangan Islam di Indonesia, maka suatu aturan hukum
turut pula dikembangkan untuk melegalisasi serta melindungi akad-akad yang
sesuai Syari’ah Islam diterapkan dalam Sistem Keuangan Islam di Indonesia. Maka
dari itu, Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan
fatwa NO: 10/DSN-MUI/IV/2000. Fatwa ini ditetapkan pada saat Rapat Pleno Dewan Syari’ah
Nasional (8 Muharram 1421 H./13 April 2000) yang menetapkan:
- Ketentuan Wakalah.
- Rukun dan Syarat Wakalah
- Aturan terjadinya perselisihan
Macam-Macam Wakalah
Wakalah dapat dibedakan menjadi
al-wakalah al-ammah dan al-wakalah al-khosshoh.
1.
Al-wakalah al-khosshoh adalah wakalah dimana prosesi
pendelegasian wewenang untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat
spesifik. Dan spesifikasinyapun telah jelas, seperti halnya membeli Honda tipe
X, menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.
2.
Al-wakalah al-‘ammah adalah akad wakalah dimana
prosesi pendelegasian wewenang bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi. Seperti
belikanlah aku mobil apa saja yang kamu temui.
Selain itu juga dibedakan atas
al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh.
1.
Al-wakalah al-muqoyyadoh adalah akad wakalah dimana
wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya
jualah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika kredit.
2.
Al-wakalah al-muthlaqoh akad wakalah dimana wewenang
dan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu, misalnya jualah
mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.[6]
APLIKASI WAKALAH DALAM INSTITUSI KEUANGAN
Akad Wakalah dapat
diaplikasikan ke dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang ekonomi, terutama
dalam institusi keuangan:
A. Transfer uang
Proses transfer
uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad Wakalah, dimana
prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai Al-Muwakkil terhadap
bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan perintah/permintaan
kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada rekening orang lain,
kemudian bank mendebet rekening nasabah (Jika transfer dari rekening ke
rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank mengkreditkan sejumlah
dana kepada kepada rekening tujuan. Berikut adalah beberapa contoh proses dalam
transfer uang
i.
Transfer
uang melalui Wesel Pos
Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara
langsung dari Al-Muwakkil kepada Al-Wakil, danAl-Wakil memberikan
uangnya secara langsung kepada nasabah yang dituju.
ii.
Transfer
uang melalui cabang suatu bank
Dalam proses ini, Al-Muwakkil memberikan
uangnya secara tunai kepada bank yang merupakan Al-Wakil, namun
bank tidak memberikannya secara langsung kepada nasabah yang dikirim. Tetapi
bank mengirimkannya kepada rekening nasabah yang dituju tersebut.
iii. Transfer melalui ATM
Kemudian ada juga
proses transfer uang dimana pendelegasian untuk mengirimkan uang, tidak secara
langsung uangnya diberikan dari Al-Muwakkil kepada bank
sebagai Al-Wakil. Dalam model ini, Nasabah Al-Muwakkil meminta
bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan kemudian meminta bank untuk
menambahkan di rekening nasabah yang dituju sebesar pengurangan pada
rekeningnya sendiri. Yang sangat sering terjadi saat ini adalah proses yang
ketiga ini, dimana nasabah bisa melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.
B.
Investasi
Reksadana Syariah
Akad untuk
transaksi Investasi Reksadana Syariah ini menggunakan akad Wakalah dan Mudharabah.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 20/DSN-MUI/IV/2001.
Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana pemilik modal
memberikan kuasa kepada manajer investasi agar memiliki kewenangan untuk
menginvestasikan dana dari pemilik modal.
C.
Pembiayaan
Rekening Koran Syariah
Akad untuk
transaksi pembiayaan rekening koran syariah ini menggunakan akad Wakalah.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 30/DSN/VI/2002.
Akad Wakalah ini memiliki definisi dimana bank memberikan
kuasa kepada nasabah untuk melakukan transaksi yang diperlukan.
D.
Asuransi
Syariah
Akad untuk Asuransi
syariah ini menggunakan akad Wakalah bil Ujrah. Hal ini sesuai
dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006. Akad Wakalah
bil Ujrah ini memiliki definisi dimana pemegang polis memberikan kuasa
kepada pihak asuransi untuk menyimpannya ke dalam tabungan maupun ke dalam
non-tabungan.
Dalam model ini,
pihak asuransi berperan sebagai Al-Wakil dan pemegang polis
sebagai Al-Muwakil.
BERAKHIRNYA WAKALAH
Yang menyebabkan Wakalah menjadi batal
atau berakhir adalah:
- Bila salah satu pihak meninggal
dunia.
- Bila
salah satu pihak yang berakad Wakalah itu gila.
- Bila maksud
yang terkandung dalam akad Wakalah sudah selesai
pelaksanaannya atau dihentikan.
- Diputuskannya Wakalah tersebut
oleh salah satu pihak yang berWakalah baik pihak pemberi kuasa
ataupun pihak yang menerima kuasa.
- Hilangnya
kekuasaan atau hak pemberi kuasa atau sesuatu obyek yang dikuasakan.
ARIYAH
Pengertian ‘Ariyah
Ariyyah atau ‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi
(lughat) dengan beberapa macam makna, yaitu:
1.
‘Ariyah
adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara bergiliran
antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan memakai
artinya perkataan at tadaawul.
2.
‘Ariyah
adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan itu
diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
3.
‘Ariyah
adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar kata
‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat.
Itulah makna perkataan ‘Ariyah yang shahih dan
pengambilannya. Sedangkan pengertiannya dalam terminologi Ulama Fiqh, maka
dalam hal ini terdapat perincian beberapa madzhab :
Madzhab Maliki (Al Malikiyah)
‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu
merupakan nama bagi sesuatu yang dipinjam. Maksudnya adalah memberikan hak
memiliki manfaat yang sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos.
Contoh: meminjamkan/memberikan hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda)
ditentukan waktunya dengan tanpa ongkos. Atau manfaat bajak untuk membajak
tanah pada masa yang ditentukan. Maka pemberian hak memiliki manfaat tersebut
dinamakan ‘Ariyah (meminjamkan).
Madzhab Hanafi (Al Hanafiyah)
‘Ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara Cuma-Cuma.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ‘Ariyah adalah “membolehkan” bukan “memberikan
hak milik”. Pendapat ini tertolak dari dua segi, yaitu:
a. Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah
dengan ucapan memberikan hak milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan
kecuali dengan tujuan meminjam pengertian memberikan hak milik.
b. Bahwasannya orang yang meminjam boleh meminjamkan
sesuatu yang ia pinjam kepada orang lain jika sesuatu tersebut tidak akan
berbeda penggunaannya dengan perbedaan orang yang menggunakan baik dari segi
kekuatan atau kelemahannya. Seandainya meminjamkan itu hanya membolehkan, maka
orang yang meminjam tidak sah meminjamkan kepada orang lain.
Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah)
Perjanjian meminjamkan ialah membolehkan mengambil
manfaat dari orang yang mempunyai keahlian melakukan derma dengan barang yang
halal diambil manfaatnya dalam keadaan barangnya masih tetap utuh untuk
dikembalikan kepada orang yang melakukan kesukarelaan. Misalnya adalah ani
meminjamkan buku fiqh (halal diambil manfaatnya) kepada lina (orang yang
berkeahlian melakukan amal sukarela), maka sahlah ani untuk meminjamkan buku
fiqh tersebut kepada lina.
Madzhab Hambali (Al Hanabilah)
‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang
diambil dari pemiliknya atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada
suatu masa tertentu atau secara mutlak dengan tanpa imbalan ongkos.
Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah
merupakan nama atas sesuatu yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi,
pengertian ‘ariyah adalah “Kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu
imbalan.”
Dasar Hukum ‘Ariyah
Meminjamkan (membutuhkan pertolongan orang lain) pada
hakekatnya merupakan sebagian dari amal kebaikan yang dikehendaki oleh manusia.
Jadi dengan melihat keadaannya, maka hukumnya adalah sunnah, tetapi menurut
Amir Syarifuddin hukumnya adalah boleh atau mubah sepanjang dilakukan sesuai
dengan ketentuan syara’. Kadang-kadang bisa juga hukumnya menjadi wajib,
contohnya ketika kesehatan atau keselamatan seseorang itu tergantung pada
payung ketika orang tersebut berada di padang pasir yang sangat panas, maka
kita wajib meminjamkan payung kepadanya. Tetapi kadang juga bisa menjadi haram,
contohnya ketika ada seseorang laki-laki meminjam budak perempuan temannya
untuk dinodai, maka hukum meminjamkan budak perempuan adalah haram.
Adapun dasar hukum diperbolehkannya bahkan disunnahkannya
‘ariyah adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis sebagai berikut:
Firman Allah QS. Al-Maidah Ayat 2 :
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah [389],
dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu
orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan
keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka
bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum
karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat
aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.”
Firman Allah QS. An-Nisaa’ : 58
Artinya : “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”
“Barang peminjaman adalah benda yang wajib
dikembalikan.” (H.R. Abu Daud)
“Orang kaya yang memperlambat (melalaikan)
kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya).” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
”Bahwa Rasulullah
Saw. Telah meminjam kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.”
(H. R. Bukhari dan Muslim)
”Bahwa Rasulullah
Saw. Pernah meminjam perisai dari Shafwan bin Umayyah pada waktu perang Hunain.
Shafwan bertanya, ’Apakah engkau mengambilnya, wahai Rasulullah?’ Nabi
menjawab, ’Hanya meminjam dan aku bertanggung jawab.’” (H. R. Abu Daud)
Rukun ‘Ariyah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah
ijab dari yang meminjamkan barang (mu’ir), sedangkan qabul bukan merupakan
rukun ariyah, karena akad al-‘riyah termasuk akad yang mengikat salah satu
pihak. Jadi apabila seseorang mengatakan kepada orang lain “saya pinjamkan
sepeda ini pada engkau”, maka menurut ulama Hanafiyah sudah sah dan tidak perlu
disambul dengan qabul. Akan tetapi, menurut Zufar ibn Huzail (728-774 M), pakar
fiqh Hanafi, dalam akad al-‘ariyah diperlukan qabul.
Menurut ulama Syafi’iyyah, dalam ’ariyah disyaratkan
adanya lafadzh shighat akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang
meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang
bergantung pada adanya izin.
Secara umum, jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun
‘ariyah ada empat, yaitu:
·
Mu’ir
{orang yang meminjamkan/memberikan pinjaman/orang yang mengutangkan
(berpiutang)
·
Musta’ir
(orang yang menerima pinjaman/peminjam/ orang yang menerima utang)
·
Mu’ar
(barang yang dipinjam/ benda yang diutangkan)
·
Shighat
atau Ijab dan Qabul, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil
manfaat, baik dengan ucapan maupun perbuatan, seperti seseorang berkata, “saya
utangkan benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku
berutang benda anu kepada kamu”.
Syarat ‘Ariyah
Adapun syarat-syart al-‘ariyah itu diperinci oleh para
ulama fiqh sebagi berikut :
1.
Mu’ir
{orang yang mengutangkan (berpiutang)}
Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya atau pemilik
yang berhak menyerahkannya. Orang yang berakal dan cakap bertindak hukum. Anak
kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.
2.
Mus’tair
(orang yang menerima utang)
·
Baligh
·
Berakal
·
Orang
tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) atau orang yang berada dibawah
perlindungan, seperti pemboros. Hendaklah seorang yang ahli (berhak) menerima
kebaikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak
ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.
3.
Mu’ar
(benda yang diutangkan)
·
Materi
yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang mu’arnya tidak
dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat
digunakan untuk menyimpan padi.
·
Pemanfaatan
itu dibolehkan oleh syara’ (tolong menolong dalam hal kebaikan), maka batal
‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’. Misalnya
kendaraan yang dipinjam harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam
pandangan syara’, seperti bersilaturahmi, berziarah dan sebagainya. Dan apabila
kendaraan tersebut digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam dicela
oleh syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah.
·
Manfaat
barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan
wakaf atau menyewa karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan
bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam tidak boleh
meminjamkan barang yang dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjamnya
bukan miliknya. Dia hanya diizinkan mengambilnya tetapi membagikan manfaat yang
boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan. Misalnya dia meminjam
rumah selama 1 bulan tetapi hanya ditempati selama 15 hari, maka sisanya boleh
diberikan kepada orang lain.
·
Jenis
barang yang apabila diambil manfaatnya bukan yang akan habis atau musnah
seperti rumah, pakaian, kendaraan. Bukan jenis barang yang apabila diambil
manfaatnya akan habis atau musnah seperti makanan.
·
Sewaktu
diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak).
Hukum Akad ’Ariyah
‘Ariyah dapat diartikan dengan dua cara yaitu secara
hakikat dan secara majaz.
Ø
Secara
hakikat, ‘ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa
merusak zatnya. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi
peminjamtanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang sepadan
dengan manfaat menurut kebiasaan. Al-Kurkhi, ulama golongan Syafi’iyyah, dan
ulama golongan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘ariyah adalah
kebolehan mengambil manfaat dari suatu benda.
Ø
Secara
majaz, ‘ariyah adalah pinjam-meminjam benda-benda yang berkaitan dengan
takaran, timbangan, hitungan, dan lain-lain, seperti telur, uang dan segala
benda yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya.
Dengan demikian, walaupun termasuk ‘ariyah tetapi merupakan
‘ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusak
zatnya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan
untuk memanfaatkannya.
Macam – Macam ‘Ariyah
Ditinjau dari
kewenangannya, akad pinjaman meminjam (‘ariyah) pada umumnya dapat dibedakan
menjadi dua macam :
1. ‘Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam
barang yang bersifat terikat dengan batasan tertentu. Misalnya peminjaman
barang yang dibatasi pada tempat dan jangka waktu tertentu. Dengan demikian,
jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan
lain bagi pihak peminjam kecuali mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada
objek yang berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya
syarat tertentu.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan
musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan
tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut. Apabila
terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya.
Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir
tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang
maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dilah pemberi
izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan
keinginannya.
2. ’Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang
yang dilakukan oleh seseorang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui akad
‘ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman,
meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada
pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak memberikan
syarat tertentu terkait obyek yang akan dipinjamkan.
Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad
tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut,
misalnya waktu dan tempat mengendarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang
berlaku di masyarakat. Tdak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam
tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang
pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggungjawab.
Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain,
berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang
adalah wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang,
bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk perbuatan aniaya. Rasulullah
SAW bersabda :
“Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang
adalah zalim atau berbuat aniaya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman itu
diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang
semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Rasulullah SAW
bersabda :
“Sesungguhnya diantara orang yang terbaik diantara kamu
ialah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang”. (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Jika penambahan
tersebut dikehendaki oleh orang yang memberi utang atau telah menjadi
perjanjian dalam akad perutangan, maka tambahan tersebut tidak halal bagi yang
berpiutang untuk mengambilnya. Rasulullah SAW bersabda :
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka itu
adalah salah satu cara dari sekian cara riba.” (H.R. Baihaqi)
Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah
memegang barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban
menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.
Demikian menurut Ibnu Abbas, ‘Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan Ishaq dalam hadist
yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah SAW bersabda :
“Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga
ia mengembalikannya”.
Tata Krama Berutang
Ada beberapa hal
yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang
nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut :
a.
Utang piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang berutang dengan
menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki dan 2
(dua) orang saksi perempuan.
Allah SWT berfirman,
“Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua
oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa”. (Q.S. Al-Baqarah :
282)
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang
mendesak disertai niat dalam hati akan membayar/mengembalikannya.
c. Pihak yang berpiutang hendaknya berniat memberikan
pertolongan kepada pihak yang berutang. Bila yang meminjam tidak mampu
mengembalikan, maka yang berpiutang hendaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar
pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam
pembayaran pinjaman berarti berbuat zalim.
Aplikasi ‘Ariyah Dalam Lembaga Keuangan Syariah
‘Ariyah dalam lembaga keuangan syariah
dinamakan‘Ariyah atau I’aarah. Pada dasarnya, aplikasi ini berjalan di atas
akad al-ashliyah (tanpa ada paksaan seperti bai’), dan pastinya tanpa bunga. Melalui akad ‘ariyah, seseorang dapat meminjam manfaat
barang orang lain hingga batas waktu tertentu, meskipun tanpa harus memberikan
kompensasi. ‘Ariyah digunakan dalam kondisi yang mendesak, terutama ketika
seseorang tidak memiliki modal (uang) untuk membeli atau bahkan menyewa barang
(produk) yang sangat dibutuhkannya.
[1] Pasal 1 ayat (4) Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/46/PBI Tahun
2005.
[2] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, 1980),
Juz VI, hlm. 382.
[3] Alauddin Al-Kasani, Bada
al-Sana’I fi Tarbib al-Syara’: Syarh Tuhfah al-Fuqaha li al-Samarqandi,
(Mesir: Syirkah al-Mathbu’ah), Juz VI, hlm.207.
[4] Syamsuddin Muhammad ibn al-Khatib al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj Ma’rifah Ma’ani Alfazh
al-Minhaj, (Dar Al-Fikr, t.t.), Juz III, hlm. 80.
[5] http://viewislam.wordpress.com/2009/04/16/konsep-akad-wakalah-dalam-fiqh-muamalah/
[6] http://id.netlog.com/m_ibadur_rahman/blog/blogid=12539
Saya Widaya Tarmuji, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah TRACY MORGAN LOAN FIRM. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
ReplyDeleteTapi Tracy Morgan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email yang sebenarnya mereka: tracymorganloanfirm@gmail.com. Email pribadi saya sendiri: widayatarmuji@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya. hati-hati
ReplyDeleteSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut