Wednesday 31 July 2013

PEREMPUAN DAN KETENAGAKERJAAN

   Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber ajaran Islam, memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada perempuan baik sebagai anak, istri, ibu, maupun sebagai anggota keluarga lainnya dan sebagai anggota masyarakat. Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah Rasul itu menghapuskan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Tidak ada perbedaan derajat dan kedudukan perempuan dengan laki-laki. Kalau ada perbedaan, itu hanya akibat dari fungsi utama masing-masing jenis, sesuai dengan kodratnya. Perbedaan yang ada, bukan merupakan sesuatu kekurangan, melainkan sebagai sesuatu yang mengharuskan kerja sama, tolong menolong dan saling melengkapi.
Namun, posisi perempuan seperti ini sering diperdebatkan di masyarakat, karena ajaran adat istiadat yang menetapkan bahwa tidak layak bagi perempuan untuk bergerak bebas seperti kaum laki-laki, sehingga menurut adat, bahwa perempuan yang mulia adalah perempuan yang berada dalam rumah (pingitan). Di samping itu, karena adanya anggapan dan pemahaman yang keliru terhadap ajaran Islam yang bertalian dengan kedudukan perempuan, sehingga timbul anggapan dan ungkapan yang mengatakan, bahwa ajaran Islam itu menghambat perempuan untuk maju, karena Islam tidak membolehkan perempuan bekerja diluar dan mengembangkan kariernya, tidak membolehkan perempuan melakukan kegiatan sosial.

A. PandanganAl-Qur’an terhadap Perempuan Pekerja
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menerangkan masalah bekerja dan pekerja yang bersifat umum, tidak menyebutkan laki-laki atau perempuan dengan menggunakan kata man (siapa) atau kullun (setiap), yang maknanya ditujukan kepada laki-laki dan perempuan. Ada pula ayat-ayat yang menyebutkan langsung dengan kata ....... (laki-laki) dan ....... (perempuan). Ayat-ayat berkenaan dengan ini, antara lain :
Surah An-Nahl / 16 : 97 :
“ Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (an-Nahl/16 : 97)
Menurut M Quraish Shihab, kata Solihun (salih/soleh) dipahami dalam arti baik, serasi, atau bermanfaat dan tidak rusak. Seseorang dinilai beramal Saleh apabila ia dapat memelihara nilai-nilai sesuatu sehingga kondisinya tetap tidak berubah sebagaimana adanya. Dengan demikian sesuatu itu tetap berfungsi dengan baik dan bermanfaat. Dicakup juga oleh kata “beramal saleh” upaya seseorang menemukan sesuatu yang hilang, atau berkurang nilainya, tidak atau kurang berfungsi dan bermanfaat, lalu melakukan aktivitas (perbaikan) sehingga yang kurang atau hilang itu dapat menyatu kembali dengan sesuatu itu yang lebih baik dari itu adalah siapa yang menemukan sesuatu yang telah bermanfaat dan berfungsi dengan baik, lalu ia melakukan aktivitas yang melahirkan nilai tambah bagi sesuatu itu, sehingga kualitas dan manfaatnya lebih tinggi dari semula.
M. Quraish Shihab mengatakan, bahwa Al-Qur’an tidak menjelaskan tolak ukur pemenuhan nilai-nilai atau manfaat dan ketidakresahan itu. Para ulama pun berbeda pendapat, Syekh Muhammad ‘Abduh misalnya mendefinisikan amal saleh sebagai, “segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan.[1]
Selanjutnya M. Quraish Shihab mengatakan bahwa Al-Qur’an walau tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan amal saleh, tetapi apabila ditelusuri contoh-contoh yang dikemukakannya tentang al-fasad (kerusakan) yang merupakan antonim dari kesalehan, maka paling tidak kita dapat menemukan contoh-contoh amal saleh.
Kegiatan yang dinilai Al-Qur’an sebagai perusakan antara lain adalah : perusakan tumbuhan, generasi manusia dan keharmonisan lingkungan, seperti yang diisyaratkan dalam surah Al-Baqarah/2 : 205, makar dan penipuan (An-Naml /27:49), Pengorbanan nilai-nilai agama (Gafir/40:26), dan kewenang-wenangan (Al-Fajr/89:11-12).
Usaha untuk menghindari dan mencegah hal-hal diatas merupakan bagian dari amal saleh. Semakin besar usaha tersebut, semakin tinggi nilai kualitas hidup manusia. Demikian pula sebaliknya, Tentu saja yang disebut diatas adalah sekadar contoh-contoh. Sungguh sangat luas lapangan amal saleh yang terbentang di persada bumi ini. [2]
Menurut Ibnu Kasir, ayat ini merupakan janji dari Allah Allah subhanahu wa ta ‘ala kepada orang yang mengerjakan amal saleh, yaitu amal yang sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunah Rasul sallallahu ‘alaihi wa sallam, baik laki-laki maupun perempuan, baik manusia maupun jin, sedang kalbunya merasa tenteram dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, janji itu ialah bahwa Allah akan memberinya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang ia kerjakan. Kehidupan yang baik mencakup seluruh jenis nikmat yang menggembirakan hati, baik di dunia, maupun di akhirat.[3] Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda :
Sungguh beruntunglah orang yang berserah diri yang diberi rezeki yang cukup, dan diberi kepuasan oleh Allah subhanaha wa ta ala kepadanya dengan apa yang diberikanNya. (Riwayat Ahmad dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-As) [4]
            Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam muslim, at-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Riwayat Ibu Amr. [5]
Dalam hadis yang lain, Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Allah tidak menzalimi suatu kebaikan orang mukmin yang diberikannya di dunia dan diberikannya pahala atasnya di akhirat. (Riwayat Ahmad dari Anas bin Malik ) [6]
Dari penafsiran Surah an-Nahl ayat 97 yang telah disebutkan diatas dapat disimpulkan, bahwa ayat tersebut merupakan salah satu ayat yang menekankan persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam masalah pengabdian dan beramal saleh, yang membedakannya hanya dalam kualitas ketakwaan mereka masing-masing (al-Hujurat/49:13). Ayat ini juga menunjukkan betapa kaum perempuan dituntut agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan atau pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat dan berkarir untuk kemaslahatan, baik untuk diri dan keluarganya, maupun untuk masyarakat dan bangsanya, bahkan untuk kepentingan kemanusiaan seluruhnya. Kalau laki-laki atau perempuan itu seorang yang beriman, Allah subhanahu wa ta ‘ala akan memberikannya kehidupan yang baik di dunia dan balasan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.
Dengan demikian, jelas bahwa agama Islam dengan berpegang dalam Al-Qur’an dan sunah itu, tidak menghalangi perempuan untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan keahliannya, seperti bekerja sebagai guru atau dosen, menjadi dokter, pengusaha, menteri, hakim, dan lain-lain, bahkan bila ia mampu dan memenuhi kriteria sebagai top leader boleh menjadi perdana menteri, atau menjadi kepala negara, asalkan dalam tugasnya tetap memperhatikan hukum-hukum atau aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam, misalnya : tidak terbengkalai urusan dan tugasnya dalam rumah tangga, harus ada izin atau persetujuan dari suaminya bila ia seorang yang bersuami, juga tidak mendatangkan yang negatif terhadap diri dan agamanya.
Hanya saja dalam hal ini, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum tentang boleh atau tidak kaum wanita untuk menjadi hakim dan top leader (perdana menteri atau kepala negara).
Jumhur Ulama berpendapat, bahwa tidak boleh wanita menjadi hakim atau top leader berdasarkan ayat Al-Qur’an Surah an-Nisa ayat 34 dan hadis Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ahmad, an-Nasai dan at-Tirmizi bahwa Rasulullah bersabda :
Dari Abu Bakrah berkata, “Allah telah memberikan kemanfaatan bagiku dengan sebuah kalimat saat peristiwa (perang) onta, tatkala sampai kepada Nabi (suatu kabar) bahwa Persia telah dipimpin putri raja, beliau bersabda, Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat pemimpin seorang wanita.” (Riwayat Al-Bukhari dari Abu Bakrah)[7]
Berkenaan dengan kepemimpinan laki-laki /suami dalam Surah an-Nisa/4:34, menurut Jawad Mugmiyah dalam tafsir al-Kasyif, bahwa maksud ayat 34 Surah an-Nisa itu bukanlah menciptakan perbedaan yang dianggap wanita itu rendah dibanding dengan pihak pria, tetapi keduanya adalah sama, sedang ayat tersebut hanyalah ditujukan kepada laki-laki sebagai suami dan wanita sebagai istri, keduanya adalah rukun kehidupan, tidak satu pun bisa hidup tanpa yang lain, keduanya saling melengkapi. Ayat ini hanya ditujukan untuk kepemimpinan suami saja, memimpin istrinya. Bukan untuk menjadi pemimpin secara umum dan bukan untuk menjadi penguasa yang diktator. [8]
Kebolehan wanita untuk menjadi top leader ini ditopang oleh Al-Qur’an Surah at-Taubah/9:71 :
Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan,sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasulnya . Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (At-Taubah/9:71)
Dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu wa ta ‘ala menggunakan kata ‘auliya (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada pihak pria saja, tetapi keduanya (pria dan wanita) secara bersamaan berdasarkan ini, wanita juga bisa menjadi pemimpin, yang penting dia mampu dan memenuhi kriteria sebagai seorang yang akan menjadi pemimpin tertinggi karena menurut Tafsir al-Maragi dan Tafsir al-Manar bahwa kata auliya tersebut dengan tafsiran yang mencakup : wali penolong, wali solidaritas, dan wali kasih sayang. [9]
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahwa hadis Abu Bakrah tersebut tidak membolehkan wanita untuk menjadi kepala negara Islam (khalifah)/ hakim. Ulama berbeda pendapat hanya dalam hal wanita menjadi top leader (presiden dan perdana menteri). Menurut Jumhur Ulama tidak boleh wanita menduduki jabatan tersebut. Abu Hanifah membolehkan hakim wanita dalam masalah perdata dan tidak membolehkannya dalam masalah jinayat, sementara Muhammad bin Jarir at-Tabari memperbolehkan hakim wanita secara mutlak. Pendapat ini dikuatkan pula oleh Ibnu Hazm dari aliran az-Zahiriyyah.[10]
Dr. Kamal Jaudah mengatakan, “ Hadis tersebut diatas melarang wanita sendirian menentukan urusan bangsanya, sesuai dengan sababul-wurud hadis ini, yaitu telah diangkatnya Binti Kisra untuk menjadi ratu/pemimpin Persia. Sudah diketahui bahwa sebagian besar raja-raja pada masa itu, kekuasaan hanya ditangannya sendiri, hanya ia sendiri yang menetapkan urusan rakyat dan negerinya, ketetapannya tidak boleh digugat. [11]
Berdasarkan itu, selama dalam suatu negara, dimana sistem pemerintahan berdasarkan musyawarah, seorang kepalanegara tidak lagi harus bekerja keras sendirian, tetapi dibantu oleh tenaga-tenaga ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing (menteri-menteri) ditopang dengan alat-alat canggih seperti di abad ini dapat lebih mudah memajukan negaranya serta menyelamatkannya dari bencana dan petaka, maka tidak ada halangan bagi seorang wanita untuk menjadi perdana menteri/kepala negara. Oleh sebab itu boleh saja wanita menjadi kepala negara, yang penting adalah bahwa seorang wanita yang diangkat untuk menduduki jabatan itu memenuhi kriteria syarat-syarat yang telah disebutkan diatas. Tentu saja dalam hal ini selama masih ada kaum pria yang lebih layak, maka sebaiknya jabatan tersebut diserahkan saja kepada kaum pria. Karena fitrah, kodrat masing-masing para ulama berbeda pendapat dalam persoalan siapa antara pria dan wanita yang lebih layak dan pantas untuk menjadi top leader.
Kalau kita amati dewasa ini, hampir tidak ada lagi pekerjaan pria yang tidak dapat dilakukan oleh wanita, walaupum tidak semua wanita itu dapat melakukannya, meskipun pada zaman dahulu dianggap mustahil dapat dikerjakan oleh wanita dengan alasan karena lemah fisik dan mental sesuai kodratnya. Sekarang bukan lagi sesuatu yang mustahil, karena wanita mampu melaksanakannya di abad modern ini, disebabkan kemajuan IPTEK dan perkembangan masyarakat.
Potensi wanita sebagai salah satu unsur dalam pembangunan nasional di Indonesia tidak disangsikan lagi, karena ± separuh penduduknya adalah wanita . Kalau potensi yang besar ini tidak di dorong dan didukung serta dimanfaatkan secara optimal dalam pembangunan Nasional, maka bangsa dan negara akan mengalami kelambanan dan kemunduran. Namun, keterlibatan wanita dalam segala lapangan kehidupan dan pekerjaan diluar rumah masih banyak mendapat tantangan, baik dengan dalih agama dari golongan konservatif, maupun karena budaya. Menurut golongan konservatif , wanita hanya sebagai ibu rumah tangga, mendidik anak dan melayani suami, tidak boleh mempunyai aktivitas di luar rumah, apalagi menjadi hakim dan top leader (kepala negara atau perdana menteri), karena semua hal tersebut adalah tugas dari laki-laki.
Kalau sekarang ini kaum wanita sudah tampil ke depan dan mereka sudah banyak memasuki berbagai profesi karena keahliannya, seperti menjadi guru/dosen, dokter, pengusaha, menteri, hakim dan lain-lain, maka hal yang seperti ini telah dilakukan pula oleh wanita Islam zaman dahulu. Hanya pelaksanaannya berbeda sesuai dengan kondisi, apalagi dimasa-masa mendatang, karena semakin maju IPTEK dan semakin berkembang masyarakat. Pada permulaan islam, banyak wanita Islam yang terkenal alim serta ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Mereka bukan hanya menjabat sebagai guru, tetapi banyak pula setaraf mufti dalam urusan keagamaan, bahkan adapula yang menjadi hakim dan lain-lain.
Tokoh-tokoh wanita Islam yang mempunyai peranan penting dalam berbagai bidang, antara lain, sebagai berikut :
1. Khadijah binti Khuwalid (wafat 3 tahun sebelum hijrah, bertepatan dengan 519 M) adalah wanita yang mula pertama menyatakan iman kepada Rasulullah, wanita miliuner yang rela mengorbankan hartanya untuk menyiarkan agama Islam dan istri yang setia dalam suka dan duka dan tidak pernah absen dalam mendukung Rasulullah sallalhu alaihi wa sallam selama 25 tahun.
2. Fatimah binti Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam (18 tahun sebelum hijrah s/d 11 tahun setelah hijrah, bertepatan dengan (605-633 M), adalah orator ulung, dan fasih berbicara, namanya lebih tenar lagi sewaktu ayahnya meninggal dunia, karena ia terjun ke dunia politik, mati-matian mencalonkan karena Ali bin Abu Talib (suaminya) sebagai khalifah pertama; walaupun perjuangannya dalam hal ini belum sukses, dia sebagai politikus yang konsekuen sampai akhir hayatnya tetap mencalonkan Ali bin Abu Talib sebagai khalifah. Ia wafat 6 bulan sesudah wafatnya Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam (ayahnya).
3. Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq (9 tahun sebelum hijrah s/d 58 hijrah, bertepatan dengan tahun 613-678 M) adalah meriwayatkan 2210 hadis dan terjun ke kancah politik pada masa khalifah Usman bin Affan beramar makruf, mengecam tindakan khalifah yang dinilai sebagai tindakan yang tidak bijaksana, dan pada masa khalifah Ali bin Abi Talib masih aktif dalam bidang politik, ia menjadi komandan tertinggi perang melawan Ali, pada perang jamal, dan wanita yang digelar “Humairah” (si merah delima) oleh Rasulullah sallalahu alaihi wa sallam, ketika menyuruh mempelajari separuh ajaran agama darinya.
4. as-Syifa, terkenal dengan Ummu Sulaiman binti Abdullah binti Abdusy-Syams al-Adawiyyah al-Quraisyiyyah, nama aslinya Laila (wafat pada tahun 20 H bertepatan dengan tahun 640 M) adalah guru wanita pertama dalam Islam. Sejak sebelum Islam ia memberi pelajaran membaca dan menulis istri Nabi Sallallahu alaihi wa sallam yang bernama Hafsah binti Umar, dan pada masa Rasulullah sallallahu alihi wasallam ia diangkat sebagai guru wanita serta diberinya perumahan. Ia juga pernah menjadi penasihat khalifah ke-2, Umar bin al-Khatab. Ia mendapat tugas mengurus pasar.
5. Rufaidah adalah pendiri rumah sakit yang pertama pada zaman Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam untuk menampung semua orang-orang yang luka dalam peperangan, dan pendiri lembaga pertama seperti yang kemudian dikenal sebagai Palang Merah, yang didirikan oleh Dokter Swiss J.H Dunant dan yang diakui oleh konferensi Genewa pada tahun 1864 dan ia merupakan “Nighttingale” yang pertama di dalam sejarah international.
6. Khansa, nama aslinya Tumazir binti Amr bin Haris bin Syarid dari Kabilah Mudar (wafat pada tahun 24 H/645 M) adalah sejak zaman Jahiliah menjadi penyair yang kenamaan, syairnya berirama sedih dan pada tahun 16 H, waktu terjadi perang Qadisiyyah, ia mengirimkan 4 orang putranya maju ke medan perang : meskipun keempat anaknya gugur di medan juang, peperangan dimenangkan dan wanita yang berhati tabah, sulit dicari bandingannya; sewaktu berita kematian empat orang anaknya, ia menyambutnya dengan senyum dan berkata, “Puji-pujian bagi Tuhan yang telah memberikan kehormatan bagi saya dengan gugurnya mereka sebagai syuhada.”
7. Gazalah wafat pada tahun 77 H/696 M adalah pahlawan wanita yang gagah berani, berjuang saling bahu-membahu dengan suaminya Syabib bin Yazid dan ia bersama ibu mertuanya Muyairah tampil disamping suaminya dalam suatu pemberontakan melawan Khalifah Abdul Malik bin Marwah dari Bin Marwan Bani Umayyah pada tahun 78 H dan ia wafat terbunuh oleh khalid bin Attab ar-Rubai dalam pertempuran memperebutkan pintu gerbang Kota Kufah.
8. Zubaidah (wafat tahun 216 H/ 81 M) adalah sosiawan yang jarang tandingannya; ia adalah istri Khalifah Harun ar-Rasyid dan ialah yang membuat saluran air dari sungai Tigris di Bagdad sampai pada Arafah di Mekah biayanya 1.500.000 dinar; sampai sekarang saluran air itu masih terkenal dengan “Air Zubaidah” Mata air Zubaidah, dan banyak membuat masjid, waduk-waduk untuk irigasi dan jembatan-jembatan di wilayah Hijaz, Syam dan Bagdad.
9. Abbasah (160-210 H/777-825 M) saudara perempuan Khalifah Harun ar-Rasyid adalah pujangga wanita yang sangat mengagumkan dan mempunyai kelebihan dalam bidang suara dan seorang penyair.
10. Sayyidah, Ibu kandung Khalifah al-Muqtadir yang memerintah pada 295-320 H/ 908-932 M adalah mengendalikan pemerintahan dari belakang layar, sebab putranya khalifah al-Muqtadir memegang kekuasaan sejak masih kecil dan pembuka jalan bagi berkuasanya kaum wanita dalam pemerintahan.
11. Qahramanah/Ummu Musa, nama aslinya Masal; hidup pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir, sezaman dengan Sayyidah adalah merupakan hakim wanita pertama dalam Islam; ia memegang jabatan hakim, banyak yang mengejeknya lantaran jabatan itu dipandang tabu bagi kaum wanita; tetapi Qadi Abdul-Hasan mengakuinya sebagai hakim yang ahli. Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir, jadi sezaman dengan Sayyidah.
12. Walladah (wafat pada tahun 480 H/1087 M) adalah penyair dan pujangga yang mengagumkan, dan rumahnya ia sediakan untuk tempat pertemuan para pembesar negara.
13. Asy-Sya’irah al-rudiyyah (wafat pada tahun 450 H/1058 M) adalah sarjana wanita yang luar biasa, dan menerima ijazah tentang ilmu sastra dari guru besar Abdul-Mutrif Abdur-Rahman bin Galbun, dan karena ia seorang penyair besar, maka sampai-sampai nama aslinya tidak dikenal orang, tetapi lebih terkenal dengan profesinya.
14. Laila Khatun (sezaman dengan sultan Salahuddin Al-Ayyubi, 567-589 H/1171-1193 M) adalah pahlawan wanita yang ikut berperang melawan kaum salib yang datang dari Eropa dan diangkat menjadi “Regent” mendampingi putranya yang masih kecil di Suriah, dan lain sebagainya.
Itulah sebagian wanita-wanita Islam yang telah muncul dalam berbagai keahlian dan profesinya dimana hal ini merupakan sanggahan kepada orang yang mengatakan bahwa Islam atau fikih menghambat kaum wanita untuk bekerja dan maju. Padahal sesungguhnya Islam / fikih itu tidak melarang wanita untuk bekerja dan maju, asal tugas pokoknya tidak terbengkalai kalau dia seorang ibu atau istri, dan ia tetap memerhatikan batas-batas / hukum-hukum yang digariskan agamanya.
Selanjutnya berkenaan dengan tantangan perempuan dalam memperoleh dan menjauhi haknya untuk keluar rumah beraktifitas seperti : menuntut ilmu, mengajar, menjadi pengusaha, menjadi pejabat, dan lain-lain, sering terjadi karena pengaruh budaya atau salah memahami teks-teks agama, sehingga dikatakan oleh sebagian orang bahwa semuanya itu adalah tugas laki-laki, perempuan tidak boleh keluar rumah, misalnya dalam memahami makna ayat 33 Surah al-Ahzab berikut :
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu. (al-ahzab/33:33)
Menurut mereka, ayat ini memerintahkan kaum perempuan agar tetap tinggal di dalam rumah dan tidak boleh keluar rumah, kecuali ada keperluan yang dibenarkan oleh agama. Pandangan ini disebabkan karena tidak mengetahui konteks ayat tersebut diturunkan.
Ayat ini menurut konteks ayat sebelum dan sesudahnya, adalah ditujukan kepada para Istri nabi sallallahu alaihi wa sallam bukan kepada seluruh perempuan muslimat. Ayat sebelumnya menyebutkan :
“Wahai istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (al-Ahzab/33:32)
Sedangkan sesudahnya berbunyi :
“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab/33:33)
Dalam ayat tersebut, terdapat kata ahlul-bait (keluarga Nabi) yaitu firman Allah : “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” Kata ahlul bait tersebut, menunjukkan bahwa yang dimaksudkan yang tidak boleh keluar rumah adalah khusus bagi istri-istri Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam, bukan untuk semua perempuan muslim.
Sehubungan dengan ini, Prof.K.H. Ibrahim Hosen, LML mengatakan bahwa, “Ulama yang mengatakan ayat tersebut berlaku umum untuk semua perempuan, kemungkinan mereka menganalogikan ayat ini kepada ayat yang ditujukan kepada Rasul. Selama tidak menunjukkan khususiyyah, adalah juga ditujukan kepada umatnya. Mereka menganalogikan khithab ayat yang ditujukan kepada istri-istri Rasul adalah juga ditujukan kepada perempuan-perempuan muslim umumnya .” Kalau demikian, ayat-ayat tersebut bertentangan dengan ayat 32 surah an-Nisa, yang menerangkan :
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (an-Nisa/4:32)
Selanjutnya Ibrahim Hosen mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan berhak berusaha dan mendapatkan bahagian dari hasi usahanya sebagaimana hak tersebut ada pula pada kaum laki-laki.” Surah an-Nisa/4:32 ini sejalan dengan ayat 39 surah An-Najm :
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (an-Najm/53:39)
Yang dikatakan insan (manusia) dalam ayat tersebut adalah laki-laki dan perempuan, masing-masing tidak berhak memperoleh kecuali dari hasil usahanya. Tegasnya ayat-ayat ini berkonotasi memberikan kebebasan kepada perempuan untuk berusaha, hal mana menunjukkan perempuan dibolehkan keluar rumah, sedangkan ayat yang ditujukan kepada istri Nabi tersebut menunjukkan mereka tidak boleh keluar rumah.[12]
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa perempuan-perempuan selain istri-istri Nabi boleh keluar rumah untuk melaksanakan tugas amar makruf nahi mungkar, menegmban profesinya sesuai dengan keahliannya, mencari kebutuhan hidup, menjadi pejabat, dan lain-lain selama ketika mereka bekerja tetap memperhatikan hukum-hukum serta aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam.
Dalam kebijakan pemerintah Indonesia mengenai tenaga kerja, tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan (UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 5).
UUD 1945 pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Makna yang terkandung adalah kesempatan kerja merupakan hal penting dan mendasar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Segala upaya pembangunan harus diarahkan pada penciptaan lapangan kerja, sehingga setiap warga negara dapat memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Sumber daya manusia termasuk wanita sebagai penggerak pembangunan nasional dipadukan antara aspirasi, peranan dan kepentingannya kedalam gerak pembangunan bangsa melalui peran serta aktif dalam seluruh kegiatan pembangunan.
UU No.13 tahun 2003 menggariskan bahwa perlindungan tenaga kerja meliputi hak berserikat dan berunding bersama, keselamatan kerja dan kesehatan kerja, dan jaminan sosial tenaga kerja yang mencakup jaminan hari tua, jaminan terhadap kecelakaan, dan jaminan kematian serta syarat-syarat kerja lainnya perlu dikembangkan secara terpadu dan bertahap dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan moneternya, kesiapan sektor terkait, kondisi kerja, lapangan kerja dan kemampuan tenaga kerja. Khusus yang menyangkut tenaga kerja wanita perlu diberi perhatian dan perlindungan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya (UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 76, 81, 82, dan 83).
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka makna perlindungan kerja di Indonesia berlaku secara umum baik bagi pria maupun untuk wanita. Namun berdasarkan pada pandangan yang diakui secara universal bahwa fungsi reproduksi pada wanita merupakan fungsi hakiki, oleh karenanya bagi tenaga kerja wanita diperlukan perlindungan khusus. Dengan adanya perlindungan kerja diharapkan kehidupan tenaga kerja wanita akan semakin sejahtera karena mampu melaksanakan berbagai fungsi dan tanggung jawab secara serasi dan seimbang.



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), Volume 7, h. 342
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Volume 7, h. 342
[3] Ibnu Kasir, Tafsir Al- Qur’an Al-Azim, (Kairo : Al-Maktabah at-Taufiqiyyah, 1400 H/1980 M), Jilid II, h. 585
[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad, (t.t, Darul-Fikr,t.th),, Jilid II, h. 168.
[5] Jalaluddin asy-Suyuti, al-Jamius-Sagir, (Kudus : Menara Kudus, t.th) cet. I Jilid II, h. 85
[6] Ahmad bin Hanbal , Musnad, Jilid III, hal. 123

[7] Jalaluddin asy-Suyuti, al-Jamius sagir, (Beirut : Darul-Kutub al-Ilmiyah, t.th), cet IV, Jilid II, h. 128
[8] Muhammad Jawad Mugniyyah, Tafsir al-Kasyif (Beirut : Darul-Ilmi lil-Malayin, 1968), Cet. I, Jilid II, h. 314
[9] Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Kairo : Mustafa al-Babil Halabi wa auladuh, 1338 H/1963 M), cet III, Jilid X, h. 159, Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, (Mesir : Darul-Manar, 1375 H, jilid II, h.626
[10] Abu al-Mu’ati Kamal Jaudah, Wazifah al-Mar’ah fi Nazaril-Islam, (Mesir : Darul-Hadi, 1400 H/1980 M), h.137, Ibnu Hazm Al-Muhalla, (Mesir : Al-Matba’ah Al-Muniriyyah, t.th.), jilid I, h.97

[11] Abu Al-Mu’ati Kamal Jaudah, Wazifatul-Mar’ah, h.141

[12] Ibrahim Hosen, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Yayasan Institute Ilmu Al-Qur’an, 1974), h. 118-119