Evaluasi
Perencanaan Pengenaan pajak UKM dan Transaksi Online
Akhir-akhir ini
pemerintah tengah gencar mengupayakaan optimalisasi penerimaan pajak untuk
menambah pendapatan Negara. Salah satunya adalah dengan mengenakan tarif pajak
baru bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Kebijakan ini telah menjadi wacana
sejak tahun 2011, namun baru ditindaklanjuti di tahun ini.
Menurut pemerintah, pengenaan PPh bagi UKM adalah untuk
memenuhi asas keadilan bagi warga negara dalam kewajiban membayar pajak. Bukan,
semata-mata untuk menggenjot penerimaan pajak saja. Sebab, selama ini pekerja
yang memiliki penghasilan sebesar Rp 2 juta pun harus dipotong untuk bayar
pajak. Sementara, banyak UKM yang memiliki penghasilan belasan hingga puluhan
juta rupiah sebulan belum tersentuh oleh pajak
Kebijakan tarif pajak
yang akan dikenakan ke para pengusaha kecil terus mengalami perubahan. Awalnya, Dirjen pajak
mengusulkan tarif pajak sebesar 3-5 persen terhadap omset yang berkisar antara
Rp 300 juta hingga Rp 4 miliar, namun hal itu diurungkan karena dianggap
terlalu memberatkan pengusaha. Awal oktober 2011, pemerintah mengusulkan lagi
tarif pajak UKM sebesar Rp 2% final bagi UKM dengan omzet usaha antara Rp 300 juta
sampai Rp 4,8 miliar per tahun. Pajak itu terdiri dari pajak pertambahan nilai
(PPN) sebesar Rp 1%, plus pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp 1% Sedangkan bagi
UKM dengan omzet di bawah Rp 300 juta tarif pajaknya diusulkan sebesar 0,5% dari omzet. Kini,
usulan yang berkembang berbeda lagi. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan berniat mengenakan pajak penghasilan (PPh) secara rata sebesar 1%
kepada UKM yang memiliki omzet dari Rp 0 sampai Rp 4,8 miliar per tahun.
Kebijakan ini mendapat respon dari Kementerian Koperasi
dan Usaha Kecil Menengah (Kemkop UKM), yang menyatakan tak keberatan dengan
tarif pajak 1% dari omzet bagi UKM. Tapi syarat minimum omzet UKM yang kena
pajak adalah Rp 200 juta setahun. Pemerintah terlalu keterlaluan jika
omzet Rp 0 per tahun juga harus membayar
pajak, hal ini tentu saja akan memberatkan UKM yang baru lahir dan berkembang. Dengan
omzet usaha Rp 200 juta berarti rata-rata perputaran usaha setiap bulan cuma
sekitar Rp 18 juta. Dengan keuntungan 15% atau 20%, paling pendapatan bersihnya
hanya Rp 2,7 juta - Rp 3,6 juta saja sebulan. Artinya penghasilan UKM dengan
skala ini masih ada di kisaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yang tahun
depan bakal dinaikkan dari Rp 15,8 juta setahun menjadi Rp 24,3 juta, atau sekitar
Rp 2 juta sebulan.
Agar tercipta keadilan, sebaiknya, pengusaha kecil dengan
omzet usaha sampai Rp 200 jutaan tidak dikenakan pajak. Karena laba bersih
usaha kecil ini hanya sekitar 10% dari omzet usaha mereka, sehingga sepanjang
tahun, laba bersih hanya sekitar Rp 25 juta atau setara dengan penghasilan
tidak kena pajak.
Belum lagi, jika UKM
mengalami kerugian, apakah pantas dikenakan pajak?.
pemerintah harus
memberikan perhatian dan perlindungan kepada UKM supaya dapat berkembang, bukan
justru mengkerdilkannya.
Menteri Keuangan AgusD.W.Martowardojo, berjanji akan
memberikan kriteria khusus bagi badan usaha mikro agar mendapat keringanan atau
bahkan pembebasan pajak badan atas dasar omzet yang sedang dalam penggodokan. pemerintah
akan menentukan kriteria khusus agar pedagang kaki lima dan pedagang eceran
yang sederhana tidak perlu membayar pajak. Selain itu, UKM di sektor mikro juga
akan mendapatkan perlakuan khusus.
Sementara, Mantan Dirjen Pajak Fuad Bawazier mengatakan
bahwa
tidak pantas jika pemerintah
mengejar pajak dari sektor UKM untuk meningkatkan penerimaan pajak negara.
Harusnya justru perusahaan besar yang dikejar pemerintah. Karena masih banyak
perusahaan asing yang menunggak pembayaran pajak, bahkan tidak bisa diharapkan
lagi pembayarannya. UKM itu tidak ada pembukuan dan pencatatan, jadi Cukup
disederhanakan PPh maksimal 0,5-1% dari penjualan maksimal. Masa pengusaha
mikro dipajaki, mikro itu omzetnya Rp 5 miliar ke bawah penjualannya, jangan
dibikin rusuh.
Selain perencanaan pengenaan pajak UKM, pemerintah juga
tengah merencanakan pengenaan pajak untuk transaksi online. Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menilai transaksi online bisa menjadi potensi
pajak. Oleh karena itu, DJP tengah mengevaluasi cara mengenakan pajak pada
transaksi online. sampai saat ini regulasi perpajakan di Indonesia memang belum
mengatur pengenaan pajak pada transaksi perdagangan online. Karena itu, kini
pemerintah tengah mengebut kajian penerapan pajak transaksi online dengan
menggunakan referensi regulasi perpajakan di negara lain yang sudah
menerapkannya.
Sebagai gambaran, informasi dari beberapa konsultan
perdagangan online menyebut nilai transaksi online di Indonesia pada tahun ini
diperkirakan sudah menembus angka 260 juta dolar AS atau sekitar Rp2,4 triliun.
Pada 2013, nilainya diproyeksi melonjak hingga 470 juta dolar AS (sekitar Rp4,4
triliun) dan pada 2014 bakal mencapai 770 juta dolar AS (sekitar Rp7,2
triliun). Namun demikian, saat ini Direktorat Jenderal Pajak masih kesulitan
untuk mengakses data transaksi perdangan online via internet. Sebab, belum ada
regulasi mengenai bagaimana pelaporan transaksi online tersebut. Sehingga hal
ini masih sebatas wacana dan pemerintah akan mempelajarinya terlebih dahulu.
Rencana pengenaan pajak dalam transaksi online ini,
menjadi hot issue di kalangan masyarakat terutama di jejaring social seperti
twitter dan facebook. Berbagai macam tanggapan dilontarkan oleh public. Tentu
saja ada yang pro dan ada yang kontra. Tergantung dari sisi mana mereka
memandangnya.
Pada dasarnya, pemerintah
boleh saja mengupayakan optimalisasi penerimaan pajak dengan membuat regulasi perpajakan
baru terhadap UKM dan transaksi online, asalkan
uang pajak tersebut digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat
seperti membangun akses jalan di tempat atau desa-desa terpencil di Indonesia,
memberikan pengobatan gratis bagi masyarakat yang tidak mampu, membangun
sekolah gratis di pelosok daerah, dan
lain sebagainya. Masyarakat pasti akan merelakannya, namun jika uang pajak itu
di korupsi oleh pegawai pajak, mungkin masyarakat akan berpikir untuk apa
membayar pajak ?? jangan sampai slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat
berubah menjadi dari rakyat, oleh rakyat, untuk koruptor.
No comments:
Post a Comment