TASAWUF
DAN KECERDASAN SPIRITUAL
A. Pendapat
Para Ahli Mengenai Kecerdasan Spiritual
Al-Ghazali mengakui adanya hierarki
kecerdasan, dan hierarki ini sesuai dengan tingkatan substansi manusia. Namun,
ia menyatakan, hierarki ini disederhanakan menjadi dua bagian, yaitu kecerdasan
intelektual yang ditentukan oleh akal (al-aql) dan kecerdasan spiritual yang
diistilahkan dengan kecerdasan rohani, ditetapkan dan ditentukan oleh
pengalaman sufistik.
Agak sejalan dengan Ibnu Arabi yang
menganalisis lebih mikro lagi tentang kecerdasan spiritual dengan
dihubungkannya kepada tiga sifat ilmu pengetahuan ini, yaitu pengetahuan kudus
(ilm al-ladunni), ilmu pengetahuan misteri-misteri (ilm al-asrar), dan ilmu
pengetahuan tentang gaib (ilm al-gaib). Ketiga jenis ilmu pengetahuan tersebut
tidak dapat diakses oleh kecerdasan intelektual.[1]
Al-Ghazali dan Ibnu Arabi mempunyai
kedekatan pendapat di sekitar aksesibilitas kecerdasan spiritual. Menurut
Al-Ghazali, jika seseorang mampu menyinergikan berbagai kemampuan dan
kecerdasan yang ada pada dirinya, maka yang bersangkutan dapat 'membaca' alam
semesta (makrokosmos/al-alam al-kabir). Kemampuan itu merupakan anak tangga
menuju pengetahuan tertinggi (makrifat) tentang pencipta-Nya. Karena alam
semesta, menurut Al-Ghazali dan Ibnu Arabi, merupakan 'tulisan' atau bagian
dari ayat-ayat Allah. Al-Ghazali menuturkan, hampir seluruh manusia pada
dasarnya dilengkapi kemampuan mencapai tingkat kenabian dalam mengetahui
kebenaran, antara lain, dengan kemampuan membaca alam semesta tadi. Dalam hal
kemampuan mencapai tingkat kenabian, menurut Al-Ghazali, semua manusia pada
dasarnya memenuhi syarat menjadi nabi, namun Allah menentukan hanya sebagian
kecil di antaranya yang dipilih. Seruan penggunaan model-model kecerdasan di
dalam Alquran tidak secara parsial. Keunggulan manusia terletak pada
kemampuannya menyinergikan ketiga kecerdasan tersebut.[2]
Kecerdasan spiritual, menurut Marsha
Sinetar, adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, the
is-ness atau penghayatan ketuhanan yang didalamnya kita semua menjadi bagian. Sedang
khalil kavari mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai fakultas dari dimensi
nonmaterial atau ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua
memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya. Menggosok hingga
mengkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh
kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya kecerdasan spiritual
dapat ditingkatkan dan juga diturunkan. Tetapi kemampuannya untuk ditingkatkan
tampaknya tidak terbatas.
Wolman (2001) mendefinisikan makna
spiritual sebagai berikut : “Dengan spiritual saya maksudkan kerinduan dan pencarian
manusia yang abadi dan sudah ada sejak keberadaan manusia itu sendiri, untuk
terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dan lebih dapat diandalkan daripada
ego kita sendiri, dengan kata lain, keterhubungan kita dengan jiwa kita, dengan
sesama kita, dengan kancah sejarah dan alam, dengan hembusan jiwa yang satu
adanya, dan dengan misteri kehidupan itu sendiri”. Spiritual merupakan galian
terdalam dan sumber dari karakter hidup.[3]
Zohar & Marshall (2001) merumuskan
kecerdasan spiritual (berpikir unitif) sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan
untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah sesuatu yang dipakai
untuk mengembangkan kemampuan dan kerinduan akan makna, visi, dan nilai.
Mendasari hal-hal yang dipercaya dan peran yang dimainkan oleh kepercayaan
maupun nilai-nilai dalam tindakan yang akan diambil. SQ merupakan kecerdasan
tertinggi manusia. Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini adalah kemampuan
untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan
adaptif, cenderung untuk memandang segala sesuatu secara holistik, serta
berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi
hidupnya.
Zohar & Marshall (2001)
mengemukakan bahwa spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan kedekatan
seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab seorang humanis atau atheis pun dapat
memiliki spiritualitas tinggi. Kecerdasan spiritualitas tidak selalu mutlak
berkaitan dengan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan
pengertian manusia dan sudah menjadi terkavling-kavling sedemikian rupa
(e-Psikologi.com, 2000). Kecerdasan spiritual lebih berkaitan dengan pencerahan
jiwa. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi mampu memaknai hidup
dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan
yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif akan mampu membangkitkan
jiwa dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
B. Ciri-Ciri
Kecerdasan Spiritual
Kemajuan
teknologi, budaya, sosial ekonomi dan pendidikan menyebabkan kebutuhan manusia
semakin kompleks, kebutuhan hidup baik yang menyangkut masalah pribadi ataupun
kelompok tidak bisa dihindari. Akirnya manusia sebagai pelakunya dituntut untuk
meladeni dan mengimbangi persaingan yang gagal. Tentu saja timbul rasa pesimis,
frustasi, mungkin gelisah dan tidak mengerti kemana hidup ini akan berakhir.
Sebenarnya banyak manusia merasa puas jika urusan jasmaninya terpenuhi,
dianggap persoalan hidup selesai sudah. Ternyata baik yang gagal atau yang
suskes mempunyai kadar yang didasarkan pola penilaian tersirat material namun
lahiriah mentalnya tidak siap. Emosional rohaniah harus dihidupkan kcerdasan
spiritualnya terus ditajamkan. Jadi semuanya harus berjalan seiring, tidak ada
yang lebih penting, semuanya diperlukan. Tidak ada dikotomi ilmu seperti teori
barat yang memisahkan spiritual, dengan dunia. Antara dzikir dan piker. Sebab
jika rohani rapuh, maka sendi sosial budaya dan ekonomi menjadi rapuh. [4]
Harus
ada integrasi secara menyeluruh dan komprehensif bagi seluruh masalah terlebih
kepuasan batin. Semuanya dengan satu tujuan bagaimana rohani mereka tidak
kering, selalu segar dan memiliki kemauan besar membangun kembali potensi
rohani yang ada di dalam diri setiap orang. Potensi jasmani dibangun dengan
cara bersifat material. Tetapi kebutuhan rohani dengan cara pendalaman,
pemahaman dan sekaligus pengamalannya. Semua ini terangkum dalam kecerdasan
spiritual. Tingkat kecerdasan spiritual yang tinggi, akan mampu membentuk
kepribadian individu yang tawazun yaitu dapat menyeimbangkan antara urusan
duniawi dan urusan ukhrawi.
Zohar
dan Marshall memberikan gambaran bagaimana tanda-tanda orang yang memiliki
kecerdasan spiritual tinggi,[5]
yaitu :
1. Kemampuan bersikap fleksibel
(adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran
yang tinggi
3. Kemampuan menghadapi
dan memanfaatkan penderitaan
4. Kemampuan untuk
menghadapi dan melampaui rasa takut
5. Kualitas hidup yang
diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6. Keengganan untuk
menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7. Kecenderungan untuk
melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik)
8. Kecenderungan nyata untuk bertanya:
“mengapa?” atau “bagaimana jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar
9. Pemimpin yang penuh
pengabdian dan bertanggungjawab.
Menurut Jalaluddin Rakhmat, ciri
atau karakteristik kecerdasan spiritual[6]
ialah :
1.
Mengenal motif kita yang paling dalam
2.Memiliki
tingkat kesadaran yang tinggi
3.Bersikap
responsive pada diri yang dalam
4.Dapat
memanfatkan dan mentransendenkan kesulitan atau penderitaan
5.Sanggup
berdiri menentang dan berbeda dengan orang banyak
6.Enggan
mengganggu atau menyakiti
7.Memperlakukan
agama secara cerdas
8.Memperlakukan
kematian secara cerdas
Berikut adalah
penjabaran dari karakteristik kecerdasan spiritual menurut Jalaluddin Rakhmat :
1. Motif yang paling
dalam terdapat dalam diri kita. Dalam islam motif yang paling dalam ialah
fitrah, karena tuhan memasukkan ke dalam hati yang paling dalam suatu rasa
kasih sayang pada sesama. Kita selalu bergerak didorong oleh motif kasih sayang
ini.
2. Tingkat kesadaran yang
tinggi disebut self awareness. Maksudnya kalau dia memiliki tingkat kesadaran
berarti dia mengenal dirinya dengan baik, dan selalu ada upaya untuk mengenal
dirinya lebih dalam. Jadi, orang yang tingkat kecerdasan spiritualnya tinggi
adalah orang yang mengenal dirinya lebih baik.
3. Ciri kecerdasan
spiritual berikutnya adalah bersikap responsive pada diri yang paling dalm. Ia
sering melakukan refleksi dan mau mendengarkan dirinya. Kesibukan sehari-hari
sering membuat orang tidak sempat mendengarkan hati nurani sendiri. Orang
biasanya mau mendengarkan hati nuraninya kalau ditimpa musibah.
4. Mampu memanfaatkan dan
mentransendenkan kesulitan atau penderitaan. Orang biasanya mau menghayati
dirinya sendiri lebih dalam ketika menghadapi kesulitan dan penderitaan. Jadi
penderitaan bisa membawa kepada peningkatan kecerdasan spiritual. Orang yang
cerdas secara spiritual sewaktu mengalami penderitaan tidak pernah mencari
kambing hitam, tetapi mengambil hikmah dari penderitaan itu.
5. Berani berbeda dengan
orang banyak. Manusia cenderung mengikuti trend arus massa. Misalnya orang
cenderung mengikuti model pakaian, rambut dan lain-lain yang sedang banyak
diminati. Hal ini secara spiritual disebut tidak cerdas. Yang disebut cerdas
adalah berani brbeda atau kalau perlu melawan arus massa jika hal itu dianggap
tidak bermanfaat.
6. Enggan Menyakiti dan
mengganggu, Merasa bahwa alam semesta ini merupakan sebuah kesatuan, sehingga
kalau mengganggu alam atau manusia, maka akhirnya gangguan itu akan menimpa
dirinya. Misalnya kalau membuang sampah sembarangan, maka alam akan mengganggu
dia dengan mendatangkan penyakit atau banjir. Begitu pula kalau merampas
hak-hak orang lain, maka suatu saat orang itu akan balik menyakiti. Jadi, ciri
kecerdasan spiritual adalah enggan menimbulkan gangguan dan kerusakan kepada
alam dan manusia di sekitarnya.
7. Memperlakukan agama
secara cerdas. Maksudnya dia beragama, menganut suatu agama tetapi tidak
menyerang orang yang beragama lain. Kalau dia menganut suatu mazhab atau paham
dalam agamanya tidak menyerang orang yang menganut mazhab atau paham yang lain
dalam agamanya. Orang yang menyerang orang yang beragama atau mazhab yang lain
tidak cerdas secara spiritual.
8. Memperlakukan kematian
secara cerdas. Maksudnya memandang kematian sebagai peristiwa yang harus
dialami oleh setiap orang. Kematian sering menimbulkan penderitaan bagi orang
yang ditinggalkan, tetapi malah kadang-kadang mngakhiri penderitaan bagi yang
bersangkutan dan orang banyak. Misalnya mantan presiden Soeharto masih sering
didemo oleh mahasiswa, sehngga menimbulkan penderitaan karena sering bentrok
dengan aparat keamanan. Tetapi kalau dia sudah meninggal mungkin dia tidak
didemo lagi.[7]
C. PERSPEKTIF
SUFISTIK
Dilihat
dari perspektif sufistik ciri-ciri kecerdasan spiritual itu juga terdapat dalam
tasawuf. Misalnya motif yang dalam, kesadaran yang tinggi, dan sikap responsive
terhadap diri menurut tasawuf dapat
diwujudkan dengan berbagai cara, seperti tafakkur dan uzlah.
Tafakkur
berarti penerungan, yaitu merenungkan ciptaan Allah, kekuasannya yang nyata dan
tersembunyi serta kebesarannya di langit dan bumi. Tafakkur sebaiknya dilakukan
setiap hari, terutama pada tengah malam. Karena tengah malam merupakan saat yang
paling baik, lengang, jernih dan tetap untuk pensucian jiwa. Ketika bertafakkur
kita dianjurkan untuk merenungkan karunia, kemurahan dan nikmat yang telah
dilimpahkan oleh Allah. Tafakkur mengenai nikmat Allah akan mendorong kita
untuk selalu mensyukuri dan menyibukkan diri dengan ibadah dan amal saleh
sebagai wujud kecintaan kepada Allah.[8]
Kita
juga dianjurkan bertafakkur mengenai luasnya pengetahuan Allah. Tafakkur
seperti ini membuahkan rasa malu dalam diri sendiri ketika Allah melihat kita
di tempat melakukan laranganNya atau tidak melihat kita di tempat menjalankan
perintahNya. Kita juga dianjurkan bertafakkur mengenai kefanaan kehidupan dunia
dan kekalnya kehidupan akhirat. Tafakkur seperti ini mendorong sikap zuhud
terhadap dunia dan kecintaan kepada akhirat.
Kemudian
ciri-ciri kecerdasan spiritual tadi menurut tasawuf juga dikembangkan dengan
cara uzlah. Uzlah berarti mengasingkan diri dari pergaulan dengan masyarakat
untuk menghindari maksiat dan kejahatan serta melatih jiwa dengan melakukan
ibadah, zikir, doa dan tafakkur tentsng kebesaran Allah dalam mendekatkan diri
kepadanya.
Cirri
kecerdasan spiritual tentang kemampuan mentransendenkan penderitaan menurut
tasawuf dapat dilakukan misalnya dengan sikap tawakal dan ridha. Tawakal berarti
berserah diri, maksudnya berserah diri kepada keputusan Allah, terutama ketika
melakukan suatu perbuatan atau ikhtiar. Jadi, tawakal harus didahului oleh
ikhtiar untuk memenuhi suatu keperluan. Misalnya untuk hidup layak orng harus
bekerja keras melakukan pekerjaan yang halal. Bagaimana hasilnya, sukses atau
gagal, bahagia atau sengsara, sepenuhnya diserahkan kepada Allah.
Ridha
berarti senang menjadikan Allah sebagai tuhan, senang kepada ajaran dan
takdirnya, bahagia atau sengsara. Orang yang telah mencintai Allah akan senang
dengan segala hal yang datang dari Allah, termasuk cobaan hidup, seperti
penderitaan.
Lalu
ciri kecerdasan spiritual tentang kemampuan menentang atau berbeda dengan orang
banyak dapat dikembangkan dengan sikap syaja`ah berarti berani, maksudnya
berani melakukan tindakan yang benar walaupun harus menanggung resiko yang
berat. Ini setsuai dengan ungkapan yang mengatakan “ berani karana benar, takut
karena salah”
Kemudian
ciri kecerdasan spiritual tentang keengganan mengganggu dan menyakiti ada
kesamannya dengan sikap shidiq dalam tasawuf. Shidiq berarti benar dan jujur,
maksudnya benar dan jujur dalam perkataan dan perbuatan. Membiasakan sikap
benar merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada tuhan, dan bersikap
benar juga merupakan nilai hidup yang sangat penting dalam hubungan sesame
manusia dan alam, sekaligus menjadi sendi kemajuan manusia sebagai pribadi dan
kelompok.
Mengenai
ciri kecerdasan spiritual tentang memperlakukan agama secara cerdas hal ini
sesuai dengan tasawuf, karena tasawuf mengajarkan dimensi esoteric (batiniah)
agama, yaitu perbuatan hati seperti sabar, ikhlas, sederhana, adil, dan
semacamnya. Perbuatan hati bersifat universal melintasi batas-batas agama.
Akhirnya,
ciri kecerdasan spiritual tentang memperlakukan kematian secara cerdas ini juga
sesuai dengan ajaran tasawuf. Dengan berdasarkan Al-quran dan hadis tasawuf
mengajarkan bahwa kematian harus diingat, karena kematian itu pasti akan
dialami oleh setiap orang. Kematian harus selalu diingat supaya orang
beribadah, beramal saleh serta menjauhi perbuatan maksiat dan kejahatan. Kalau
lupa mati biasanya membuat orang lupa pada ibadah, amal saleh serta cenderung
berbuat maksiat dan kejahatan.[9]
Dengan
demikian, terdapat korelasi antara tasawuf dengan kecerdasan spiritual, dimana
ciri-ciri kecerdasan spiritual juga terdapat dalam tasawuf, sehingga orang yang
menjalankan tasawuf dengan baik, maka ia juga dikatakan cerdas secara
spiritual.
[1] Ibnu Arabi, Futuhat
Al-Makkiyyah, Juz IV, hlm 394
[2]
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/05/03/m3g6yw-kecerdasan-ketiga-ala-ghazali-2
[3] Prof. DR. Hamka, Tasawwuf Modern, Jakarta,
Panji Mas
[4]
http://ibnuqosim.blogspot.com/2010/10/tasawuf-dan-kecerdasan-spiritual.html
[6] Sudirman
Teba, tasawuf positif, prenada media,
Jakarta, 2003, hal.20
[7]
Ibid, hal 23
[8]
Dr. Abuddin Natta, PT. Raja Grafindo, persada, Jakarta, 2002
[9]
Sudirman Teba, tasawuf positif,
prenada media, Jakarta, 2003, hal.27
No comments:
Post a Comment