Saturday, 13 October 2012

Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf


                                                                        
TASAWUF DAN KECERDASAN SPIRITUAL

A.    Pendapat Para Ahli Mengenai Kecerdasan Spiritual
           Al-Ghazali mengakui adanya hierarki kecerdasan, dan hierarki ini sesuai dengan tingkatan substansi manusia. Namun, ia menyatakan, hierarki ini disederhanakan menjadi dua bagian, yaitu kecerdasan intelektual yang ditentukan oleh akal (al-aql) dan kecerdasan spiritual yang diistilahkan dengan kecerdasan rohani, ditetapkan dan ditentukan oleh pengalaman sufistik.
            Agak sejalan dengan Ibnu Arabi yang menganalisis lebih mikro lagi tentang kecerdasan spiritual dengan dihubungkannya kepada tiga sifat ilmu pengetahuan ini, yaitu pengetahuan kudus (ilm al-ladunni), ilmu pengetahuan misteri-misteri (ilm al-asrar), dan ilmu pengetahuan tentang gaib (ilm al-gaib). Ketiga jenis ilmu pengetahuan tersebut tidak dapat diakses oleh kecerdasan intelektual.[1]
            Al-Ghazali dan Ibnu Arabi mempunyai kedekatan pendapat di sekitar aksesibilitas kecerdasan spiritual. Menurut Al-Ghazali, jika seseorang mampu menyinergikan berbagai kemampuan dan kecerdasan yang ada pada dirinya, maka yang bersangkutan dapat 'membaca' alam semesta (makrokosmos/al-alam al-kabir). Kemampuan itu merupakan anak tangga menuju pengetahuan tertinggi (makrifat) tentang pencipta-Nya. Karena alam semesta, menurut Al-Ghazali dan Ibnu Arabi, merupakan 'tulisan' atau bagian dari ayat-ayat Allah. Al-Ghazali menuturkan, hampir seluruh manusia pada dasarnya dilengkapi kemampuan mencapai tingkat kenabian dalam mengetahui kebenaran, antara lain, dengan kemampuan membaca alam semesta tadi. Dalam hal kemampuan mencapai tingkat kenabian, menurut Al-Ghazali, semua manusia pada dasarnya memenuhi syarat menjadi nabi, namun Allah menentukan hanya sebagian kecil di antaranya yang dipilih. Seruan penggunaan model-model kecerdasan di dalam Alquran tidak secara parsial. Keunggulan manusia terletak pada kemampuannya menyinergikan ketiga kecerdasan tersebut.[2]
         Kecerdasan spiritual, menurut Marsha Sinetar, adalah pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan,  dan efektivitas yang terinspirasi, the is-ness atau penghayatan ketuhanan yang didalamnya kita semua menjadi bagian. Sedang khalil kavari mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai fakultas dari dimensi nonmaterial atau ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua memilikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya. Menggosok hingga mengkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga diturunkan. Tetapi kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas.
         Wolman (2001) mendefinisikan makna spiritual sebagai berikut : “Dengan spiritual saya maksudkan kerinduan dan pencarian manusia yang abadi dan sudah ada sejak keberadaan manusia itu sendiri, untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dan lebih dapat diandalkan daripada ego kita sendiri, dengan kata lain, keterhubungan kita dengan jiwa kita, dengan sesama kita, dengan kancah sejarah dan alam, dengan hembusan jiwa yang satu adanya, dan dengan misteri kehidupan itu sendiri”. Spiritual merupakan galian terdalam dan sumber dari karakter hidup.[3]
         Zohar & Marshall (2001) merumuskan kecerdasan spiritual (berpikir unitif) sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah sesuatu yang dipakai untuk mengembangkan kemampuan dan kerinduan akan makna, visi, dan nilai. Mendasari hal-hal yang dipercaya dan peran yang dimainkan oleh kepercayaan maupun nilai-nilai dalam tindakan yang akan diambil. SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia. Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini adalah kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung untuk memandang segala sesuatu secara holistik, serta berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya.
         Zohar & Marshall (2001) mengemukakan bahwa spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab seorang humanis atau atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Kecerdasan spiritualitas tidak selalu mutlak berkaitan dengan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan pengertian manusia dan sudah menjadi terkavling-kavling sedemikian rupa (e-Psikologi.com, 2000). Kecerdasan spiritual lebih berkaitan dengan pencerahan jiwa. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi mampu memaknai hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif akan mampu membangkitkan jiwa dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.

B.     Ciri-Ciri Kecerdasan Spiritual      
Kemajuan teknologi, budaya, sosial ekonomi dan pendidikan menyebabkan kebutuhan manusia semakin kompleks, kebutuhan hidup baik yang menyangkut masalah pribadi ataupun kelompok tidak bisa dihindari. Akirnya manusia sebagai pelakunya dituntut untuk meladeni dan mengimbangi persaingan yang gagal. Tentu saja timbul rasa pesimis, frustasi, mungkin gelisah dan tidak mengerti kemana hidup ini akan berakhir. Sebenarnya banyak manusia merasa puas jika urusan jasmaninya terpenuhi, dianggap persoalan hidup selesai sudah. Ternyata baik yang gagal atau yang suskes mempunyai kadar yang didasarkan pola penilaian tersirat material namun lahiriah mentalnya tidak siap. Emosional rohaniah harus dihidupkan kcerdasan spiritualnya terus ditajamkan. Jadi semuanya harus berjalan seiring, tidak ada yang lebih penting, semuanya diperlukan. Tidak ada dikotomi ilmu seperti teori barat yang memisahkan spiritual, dengan dunia. Antara dzikir dan piker. Sebab jika rohani rapuh, maka sendi sosial budaya dan ekonomi menjadi rapuh. [4]
Harus ada integrasi secara menyeluruh dan komprehensif bagi seluruh masalah terlebih kepuasan batin. Semuanya dengan satu tujuan bagaimana rohani mereka tidak kering, selalu segar dan memiliki kemauan besar membangun kembali potensi rohani yang ada di dalam diri setiap orang. Potensi jasmani dibangun dengan cara bersifat material. Tetapi kebutuhan rohani dengan cara pendalaman, pemahaman dan sekaligus pengamalannya. Semua ini terangkum dalam kecerdasan spiritual. Tingkat kecerdasan spiritual yang tinggi, akan mampu membentuk kepribadian individu yang tawazun yaitu dapat menyeimbangkan antara urusan duniawi dan urusan ukhrawi.

Zohar dan Marshall memberikan gambaran bagaimana tanda-tanda orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi,[5] yaitu :
1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran yang tinggi
3. Kemampuan menghadapi dan memanfaatkan penderitaan
4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa takut
5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai
6. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu
7. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik)
8. Kecenderungan nyata untuk bertanya: “mengapa?” atau “bagaimana jika?” untuk mencari jawaban yang mendasar
9. Pemimpin yang penuh pengabdian dan bertanggungjawab.

Menurut Jalaluddin Rakhmat, ciri atau karakteristik kecerdasan spiritual[6] ialah :
1. Mengenal motif kita yang paling dalam
2.Memiliki tingkat kesadaran yang tinggi
3.Bersikap responsive pada diri yang dalam
4.Dapat memanfatkan dan mentransendenkan kesulitan atau penderitaan
5.Sanggup berdiri menentang dan berbeda dengan orang banyak
6.Enggan mengganggu atau menyakiti
7.Memperlakukan agama secara cerdas
8.Memperlakukan kematian secara cerdas

Berikut adalah penjabaran dari karakteristik kecerdasan spiritual menurut Jalaluddin Rakhmat :
1. Motif yang paling dalam terdapat dalam diri kita. Dalam islam motif yang paling dalam ialah fitrah, karena tuhan memasukkan ke dalam hati yang paling dalam suatu rasa kasih sayang pada sesama. Kita selalu bergerak didorong oleh motif kasih sayang ini.
2. Tingkat kesadaran yang tinggi disebut self awareness. Maksudnya kalau dia memiliki tingkat kesadaran berarti dia mengenal dirinya dengan baik, dan selalu ada upaya untuk mengenal dirinya lebih dalam. Jadi, orang yang tingkat kecerdasan spiritualnya tinggi adalah orang yang mengenal dirinya lebih baik.
3. Ciri kecerdasan spiritual berikutnya adalah bersikap responsive pada diri yang paling dalm. Ia sering melakukan refleksi dan mau mendengarkan dirinya. Kesibukan sehari-hari sering membuat orang tidak sempat mendengarkan hati nurani sendiri. Orang biasanya mau mendengarkan hati nuraninya kalau ditimpa musibah.
4. Mampu memanfaatkan dan mentransendenkan kesulitan atau penderitaan. Orang biasanya mau menghayati dirinya sendiri lebih dalam ketika menghadapi kesulitan dan penderitaan. Jadi penderitaan bisa membawa kepada peningkatan kecerdasan spiritual. Orang yang cerdas secara spiritual sewaktu mengalami penderitaan tidak pernah mencari kambing hitam, tetapi mengambil hikmah dari penderitaan itu.
5. Berani berbeda dengan orang banyak. Manusia cenderung mengikuti trend arus massa. Misalnya orang cenderung mengikuti model pakaian, rambut dan lain-lain yang sedang banyak diminati. Hal ini secara spiritual disebut tidak cerdas. Yang disebut cerdas adalah berani brbeda atau kalau perlu melawan arus massa jika hal itu dianggap tidak bermanfaat.
6. Enggan Menyakiti dan mengganggu, Merasa bahwa alam semesta ini merupakan sebuah kesatuan, sehingga kalau mengganggu alam atau manusia, maka akhirnya gangguan itu akan menimpa dirinya. Misalnya kalau membuang sampah sembarangan, maka alam akan mengganggu dia dengan mendatangkan penyakit atau banjir. Begitu pula kalau merampas hak-hak orang lain, maka suatu saat orang itu akan balik menyakiti. Jadi, ciri kecerdasan spiritual adalah enggan menimbulkan gangguan dan kerusakan kepada alam dan manusia di sekitarnya.
7. Memperlakukan agama secara cerdas. Maksudnya dia beragama, menganut suatu agama tetapi tidak menyerang orang yang beragama lain. Kalau dia menganut suatu mazhab atau paham dalam agamanya tidak menyerang orang yang menganut mazhab atau paham yang lain dalam agamanya. Orang yang menyerang orang yang beragama atau mazhab yang lain tidak cerdas secara spiritual.
8. Memperlakukan kematian secara cerdas. Maksudnya memandang kematian sebagai peristiwa yang harus dialami oleh setiap orang. Kematian sering menimbulkan penderitaan bagi orang yang ditinggalkan, tetapi malah kadang-kadang mngakhiri penderitaan bagi yang bersangkutan dan orang banyak. Misalnya mantan presiden Soeharto masih sering didemo oleh mahasiswa, sehngga menimbulkan penderitaan karena sering bentrok dengan aparat keamanan. Tetapi kalau dia sudah meninggal mungkin dia tidak didemo lagi.[7]

C.     PERSPEKTIF SUFISTIK
         Dilihat dari perspektif sufistik ciri-ciri kecerdasan spiritual itu juga terdapat dalam tasawuf. Misalnya motif yang dalam, kesadaran yang tinggi, dan sikap responsive terhadap diri menurut tasawuf  dapat diwujudkan dengan berbagai cara, seperti tafakkur dan uzlah.
         Tafakkur berarti penerungan, yaitu merenungkan ciptaan Allah, kekuasannya yang nyata dan tersembunyi serta kebesarannya di langit dan bumi. Tafakkur sebaiknya dilakukan setiap hari, terutama pada tengah malam. Karena tengah malam merupakan saat yang paling baik, lengang, jernih dan tetap untuk pensucian jiwa. Ketika bertafakkur kita dianjurkan untuk merenungkan karunia, kemurahan dan nikmat yang telah dilimpahkan oleh Allah. Tafakkur mengenai nikmat Allah akan mendorong kita untuk selalu mensyukuri dan menyibukkan diri dengan ibadah dan amal saleh sebagai wujud kecintaan kepada Allah.[8]
         Kita juga dianjurkan bertafakkur mengenai luasnya pengetahuan Allah. Tafakkur seperti ini membuahkan rasa malu dalam diri sendiri ketika Allah melihat kita di tempat melakukan laranganNya atau tidak melihat kita di tempat menjalankan perintahNya. Kita juga dianjurkan bertafakkur mengenai kefanaan kehidupan dunia dan kekalnya kehidupan akhirat. Tafakkur seperti ini mendorong sikap zuhud terhadap dunia dan kecintaan kepada akhirat.
         Kemudian ciri-ciri kecerdasan spiritual tadi menurut tasawuf juga dikembangkan dengan cara uzlah. Uzlah berarti mengasingkan diri dari pergaulan dengan masyarakat untuk menghindari maksiat dan kejahatan serta melatih jiwa dengan melakukan ibadah, zikir, doa dan tafakkur tentsng kebesaran Allah dalam mendekatkan diri kepadanya.
         Cirri kecerdasan spiritual tentang kemampuan mentransendenkan penderitaan menurut tasawuf dapat dilakukan misalnya dengan sikap tawakal dan ridha. Tawakal berarti berserah diri, maksudnya berserah diri kepada keputusan Allah, terutama ketika melakukan suatu perbuatan atau ikhtiar. Jadi, tawakal harus didahului oleh ikhtiar untuk memenuhi suatu keperluan. Misalnya untuk hidup layak orng harus bekerja keras melakukan pekerjaan yang halal. Bagaimana hasilnya, sukses atau gagal, bahagia atau sengsara, sepenuhnya diserahkan kepada Allah.
         Ridha berarti senang menjadikan Allah sebagai tuhan, senang kepada ajaran dan takdirnya, bahagia atau sengsara. Orang yang telah mencintai Allah akan senang dengan segala hal yang datang dari Allah, termasuk cobaan hidup, seperti penderitaan.
         Lalu ciri kecerdasan spiritual tentang kemampuan menentang atau berbeda dengan orang banyak dapat dikembangkan dengan sikap syaja`ah berarti berani, maksudnya berani melakukan tindakan yang benar walaupun harus menanggung resiko yang berat. Ini setsuai dengan ungkapan yang mengatakan “ berani karana benar, takut karena salah”
         Kemudian ciri kecerdasan spiritual tentang keengganan mengganggu dan menyakiti ada kesamannya dengan sikap shidiq dalam tasawuf. Shidiq berarti benar dan jujur, maksudnya benar dan jujur dalam perkataan dan perbuatan. Membiasakan sikap benar merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada tuhan, dan bersikap benar juga merupakan nilai hidup yang sangat penting dalam hubungan sesame manusia dan alam, sekaligus menjadi sendi kemajuan manusia sebagai pribadi dan kelompok.
         Mengenai ciri kecerdasan spiritual tentang memperlakukan agama secara cerdas hal ini sesuai dengan tasawuf, karena tasawuf mengajarkan dimensi esoteric (batiniah) agama, yaitu perbuatan hati seperti sabar, ikhlas, sederhana, adil, dan semacamnya. Perbuatan hati bersifat universal melintasi batas-batas agama.
         Akhirnya, ciri kecerdasan spiritual tentang memperlakukan kematian secara cerdas ini juga sesuai dengan ajaran tasawuf. Dengan berdasarkan Al-quran dan hadis tasawuf mengajarkan bahwa kematian harus diingat, karena kematian itu pasti akan dialami oleh setiap orang. Kematian harus selalu diingat supaya orang beribadah, beramal saleh serta menjauhi perbuatan maksiat dan kejahatan. Kalau lupa mati biasanya membuat orang lupa pada ibadah, amal saleh serta cenderung berbuat maksiat dan kejahatan.[9]
         Dengan demikian, terdapat korelasi antara tasawuf dengan kecerdasan spiritual, dimana ciri-ciri kecerdasan spiritual juga terdapat dalam tasawuf, sehingga orang yang menjalankan tasawuf dengan baik, maka ia juga dikatakan cerdas secara spiritual.










[1] Ibnu Arabi, Futuhat Al-Makkiyyah, Juz IV, hlm 394
[2] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/05/03/m3g6yw-kecerdasan-ketiga-ala-ghazali-2
[3] Prof. DR. Hamka, Tasawwuf Modern, Jakarta, Panji Mas
[4] http://ibnuqosim.blogspot.com/2010/10/tasawuf-dan-kecerdasan-spiritual.html
[6] Sudirman Teba, tasawuf positif, prenada media, Jakarta, 2003, hal.20
[7] Ibid, hal 23
[8] Dr. Abuddin Natta, PT. Raja Grafindo, persada, Jakarta, 2002
[9] Sudirman Teba, tasawuf positif, prenada media, Jakarta, 2003, hal.27

No comments:

Post a Comment