Chairul Tanjung adalah salah satu pengusaha yang sukses karena mampu mengembangkan jaringan relasi dan mengoptimalkannya.
American Dream. Kerja keras, hidup hemat, itu bisa menjadi orang istimewa di di Amerika, tetapi sifatnya individual. Alangkah berbeda jika bermimpi demikian di Indonesia, hal itu menyangkut perubahan struktural, membangun masyarakat mandiri, lebih terhormat, lebih bermartabat, dan tidak semata individual.
Paragraf di atas dikutip dari buku “Chairul Tanjung Si Anak Singkong” pada halaman 180. Dan, barangkali itulah yang menjadi ruh diterbitkannya buku biografi Chairul Tanjung (CT). Itupun setelah tiga puluh tahun pemilik CT Corpora ini malang-melintang di dunia bisnis, yang juga bertepatan dengan usianya yang ke-50.
CT barangkali salah satu pengusaha yang sukses karena ditempa keprihatinan masa lalu. Namun, dibalik itu ia mampu melakukan optimalisasi relasi, yang dalam bahasa sosiolog Pierre Bourdieu disebut modal sosial.
Modal sosial tidak lain berbagai jenis relasi yang bernilai dengan pihak lain. Dengan kata lain, sebuah jaringan yang berhasil ditautkan sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial, akumulasi modal dan efektivitas tindakan. Berbagai macam modal lainnya yang disebut Bourdieu, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal kultural dan modal simbolik.
Modal ekonomi adalah sarana produksi dan sarana finansial yang bisa digunakan untuk membangun modal yang lain. Modal kultural adalah suatu bentuk pengetahuan, kode internal, atau sebuah akusisi kognitif yang melengkapi individu yang mampu melakukan empati dan pemilahan relasi-relasi.
Modal kultural memiliki dua dimensi, yaitu kapital yang terintegrasi dalam diri, yang berarti hasil kerja pribadi. Kedua, yang berbentuk buku dan karya seni yang bisa dimiliki secara material.
Kisah perjalanan hidup CT jika dibaca melalui pisau analisis Bourdieu, menunjukkan sebuah premis yang bertolak belakang. Bourdieu melihat modal ekonomi merupakan modal yang dapat dikonversikan terhadap modal-modal yang lain. Tetapi, CT yang merupakan anak Jakarta dari keluarga miskin melakukan progres ekonomi melalui konversi modal sosial.
Perjalanan Hidup CT
American Dream. Kerja keras, hidup hemat, itu bisa menjadi orang istimewa di di Amerika, tetapi sifatnya individual. Alangkah berbeda jika bermimpi demikian di Indonesia, hal itu menyangkut perubahan struktural, membangun masyarakat mandiri, lebih terhormat, lebih bermartabat, dan tidak semata individual.
Paragraf di atas dikutip dari buku “Chairul Tanjung Si Anak Singkong” pada halaman 180. Dan, barangkali itulah yang menjadi ruh diterbitkannya buku biografi Chairul Tanjung (CT). Itupun setelah tiga puluh tahun pemilik CT Corpora ini malang-melintang di dunia bisnis, yang juga bertepatan dengan usianya yang ke-50.
CT barangkali salah satu pengusaha yang sukses karena ditempa keprihatinan masa lalu. Namun, dibalik itu ia mampu melakukan optimalisasi relasi, yang dalam bahasa sosiolog Pierre Bourdieu disebut modal sosial.
Modal sosial tidak lain berbagai jenis relasi yang bernilai dengan pihak lain. Dengan kata lain, sebuah jaringan yang berhasil ditautkan sebagai sumber daya untuk penentuan kedudukan sosial, akumulasi modal dan efektivitas tindakan. Berbagai macam modal lainnya yang disebut Bourdieu, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal kultural dan modal simbolik.
Modal ekonomi adalah sarana produksi dan sarana finansial yang bisa digunakan untuk membangun modal yang lain. Modal kultural adalah suatu bentuk pengetahuan, kode internal, atau sebuah akusisi kognitif yang melengkapi individu yang mampu melakukan empati dan pemilahan relasi-relasi.
Modal kultural memiliki dua dimensi, yaitu kapital yang terintegrasi dalam diri, yang berarti hasil kerja pribadi. Kedua, yang berbentuk buku dan karya seni yang bisa dimiliki secara material.
Kisah perjalanan hidup CT jika dibaca melalui pisau analisis Bourdieu, menunjukkan sebuah premis yang bertolak belakang. Bourdieu melihat modal ekonomi merupakan modal yang dapat dikonversikan terhadap modal-modal yang lain. Tetapi, CT yang merupakan anak Jakarta dari keluarga miskin melakukan progres ekonomi melalui konversi modal sosial.
Perjalanan Hidup CT
CT dibesarkan dalam keluarga pas-pasan, bahkan CT harus menjajakan jajanan sejak sekolah dasar. Meskipun demikian, ia memperoleh pendidikan yang sangat baik. Di dalam buku ini, kisah perjalanan CT dijelaskan secara runut dari sejak CT kecil hingga kini menjadi salah satu orang paling berpengaruh di Indonesia.
Buku ini juga menceritakan secara mendetail, bagaimana CT memiliki tekad, melakukan pengembangan relasi, dan pilihan-pilihan preferensial dalam hidupnya termasuk dalam melakukan berbagai bisnis. Tidak tanggung-tanggung, CT juga mengungkapkan berbagai relasi yang berhasil ia himpun sejak SMP.
Entah bagaimana respon semua relasi yang disebutkan CT di dalam buku ini, pasalnya, semua orang yang ia kenal dianggap istimewa. CT juga besar di zaman Orde Baru. Sepak terjang bisnisnya ia akui bukan karena hak istimewa dari pemerintah kala itu.
Tjahja Gunawan Diredja, sang penulis menunjukkan bahwa pada era 1998 CT anak baik-baik karena tidak ada kedekatan khusus dengan pemerintah kala itu. Kemudian CT merasa bersyukur karena hingga hari ini ia belum pernah mendekati kekuasaan demi kepentingan bisnisnya semata. CT berani mengakui bahwa kolaborasi pengusaha dengan penguasa memang merupakan sesuatu hal yang tidak bisa dihindari. Namun, kalau kolaborasi itu berhasil menciptakan pembangunan yang lebih merata, maka patut disambut positif. Terlebih saat ini pembangunan di daerah harus didorong secara pesat, yang dengan pendanaan terbatas harus tetap berjalan optimal. Sebaliknya, kalau kolaborasi itu membuat peluang terjadinya kolusi dan korupsi, maka, tegas CT, itu harus dihindari atau ditiadakan.
Dalam buku yang disajikan dalam tuturan mengalir ini, CT mengatakan cara terbaik melakukan pengembangan daerah hanya dengan kolaborasi pengusaha dan pemerintah. Kolaborasi saat ini mestinya digunakan untuk membuat Indonesia lebih maju, dan kolaborasi untuk menghadirkan kesejahteraan ke tengah masyarakat secara nyata.
Dalam keterkaitan itu, jejak kaki bisnis CT yang hingga hari ini semakin kukuh adalah bermula pada 1987, ketika ia membangun beberapa perusahaan, yaitu Tara Roofindo Graha yang bergerak di industri genteng metal; Pariati Shindutama; Pasarini Padibumi sebagai produsen sandal; Pasarantik Sekardana sebagai produsen kertas-kertas sembahyang bagi warga Tionghoa; dan Pagedongan Pratama. Dari semua nama itu yang paling dominan adalah Pa dan Ra, sehingga ia menggunakan sebagai nama Para.
Bisnisnya kini semakin menggurita, namun CT menyebutnya bukan sebuah konglomerasi. Dirinya hanya mengakui kelompok usahanya hanya fokus pada consumer business. Dengan latar belakang sebagai dokter gigi, dalam aplikasi sebagai entrepreneur hanya berguna menjadi analogi bahwa jika usaha tidak bisa berjalan dan tidak mampu menjadi nomor satu, langsung cabut seperti mencabut gigi yang sudah rusak.
Tidak ada kesuksesan seperti membalikkan telapak tangan. Tidak ada keberhasilan tanpa kerja keras, keuletan, kegigihan, dan kedisiplinan. Dari berbagai modal yang disebutkan Bourdieu, apa yang dilakukan CT dengan konversi modal-modal tersebut mampu membangun sebuah modal baru yang ia miliki, yakni modal simbolik.
Dengan kesuksesan yang ia raih, CT dalam bukunya ingin ada 1.000 orang menjadi dirinya. Ini berarti, jika CT mempekerjakan 150.000 orang, maka akan ada 150 juta orang Indonesia yang bisa bekerja. CT Corpora yang berhasil ia bangun bukan menjadi kesuksesan dirinya dan keluarganya. Kesuksesan yang berhasil ia raih, dalam buku ini ingin ditujukan untuk membangun Indonesia Incorporated. Untuk mencapai kondisi itu, dalam tips dan trik CT, seorang entrepreneur harus mampu membeli masa depan dengan harga sekarang.
No comments:
Post a Comment