Al-Qur’an
dan hadis sebagai sumber ajaran Islam, memberikan perhatian yang sangat besar
serta kedudukan yang terhormat kepada perempuan baik sebagai anak, istri, ibu,
maupun sebagai anggota keluarga lainnya dan sebagai anggota masyarakat. Islam
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah Rasul itu menghapuskan diskriminasi
antara perempuan dan laki-laki. Tidak ada perbedaan derajat dan kedudukan
perempuan dengan laki-laki. Kalau ada perbedaan, itu hanya akibat dari fungsi
utama masing-masing jenis, sesuai dengan kodratnya. Perbedaan yang ada, bukan
merupakan sesuatu kekurangan, melainkan sebagai sesuatu yang mengharuskan kerja
sama, tolong menolong dan saling melengkapi.
Namun,
posisi perempuan seperti ini sering diperdebatkan di masyarakat, karena ajaran
adat istiadat yang menetapkan bahwa tidak layak bagi perempuan untuk bergerak
bebas seperti kaum laki-laki, sehingga menurut adat, bahwa perempuan yang mulia
adalah perempuan yang berada dalam rumah (pingitan). Di samping itu, karena
adanya anggapan dan pemahaman yang keliru terhadap ajaran Islam yang bertalian
dengan kedudukan perempuan, sehingga timbul anggapan dan ungkapan yang
mengatakan, bahwa ajaran Islam itu menghambat perempuan untuk maju, karena
Islam tidak membolehkan perempuan bekerja diluar dan mengembangkan kariernya,
tidak membolehkan perempuan melakukan kegiatan sosial.
A.
PandanganAl-Qur’an terhadap Perempuan Pekerja
Di
dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menerangkan masalah bekerja dan pekerja
yang bersifat umum, tidak menyebutkan laki-laki atau perempuan dengan
menggunakan kata man (siapa) atau kullun (setiap), yang maknanya
ditujukan kepada laki-laki dan perempuan. Ada pula ayat-ayat yang menyebutkan
langsung dengan kata ....... (laki-laki) dan ....... (perempuan). Ayat-ayat
berkenaan dengan ini, antara lain :
Surah
An-Nahl / 16 : 97 :
“
Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan. (an-Nahl/16 : 97)
Menurut
M Quraish Shihab, kata Solihun (salih/soleh)
dipahami dalam arti baik, serasi, atau bermanfaat dan tidak rusak. Seseorang
dinilai beramal Saleh apabila ia dapat memelihara nilai-nilai sesuatu sehingga
kondisinya tetap tidak berubah sebagaimana adanya. Dengan demikian sesuatu itu
tetap berfungsi dengan baik dan bermanfaat. Dicakup juga oleh kata “beramal
saleh” upaya seseorang menemukan sesuatu yang hilang, atau berkurang nilainya,
tidak atau kurang berfungsi dan bermanfaat, lalu melakukan aktivitas
(perbaikan) sehingga yang kurang atau hilang itu dapat menyatu kembali dengan
sesuatu itu yang lebih baik dari itu adalah siapa yang menemukan sesuatu yang
telah bermanfaat dan berfungsi dengan baik, lalu ia melakukan aktivitas yang
melahirkan nilai tambah bagi sesuatu itu, sehingga kualitas dan manfaatnya
lebih tinggi dari semula.
M.
Quraish Shihab mengatakan, bahwa Al-Qur’an tidak menjelaskan tolak ukur
pemenuhan nilai-nilai atau manfaat dan ketidakresahan itu. Para ulama pun
berbeda pendapat, Syekh Muhammad ‘Abduh misalnya mendefinisikan amal saleh
sebagai, “segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan
manusia secara keseluruhan.”[1]
Selanjutnya
M. Quraish Shihab mengatakan bahwa Al-Qur’an walau tidak menjelaskan secara
tegas apa yang dimaksud dengan amal saleh, tetapi apabila ditelusuri
contoh-contoh yang dikemukakannya tentang al-fasad
(kerusakan) yang merupakan antonim dari kesalehan, maka paling tidak kita dapat
menemukan contoh-contoh amal saleh.
Kegiatan
yang dinilai Al-Qur’an sebagai perusakan antara lain adalah : perusakan
tumbuhan, generasi manusia dan keharmonisan lingkungan, seperti yang
diisyaratkan dalam surah Al-Baqarah/2 : 205, makar dan penipuan (An-Naml
/27:49), Pengorbanan nilai-nilai agama (Gafir/40:26), dan kewenang-wenangan
(Al-Fajr/89:11-12).
Usaha
untuk menghindari dan mencegah hal-hal diatas merupakan bagian dari amal saleh.
Semakin besar usaha tersebut, semakin tinggi nilai kualitas hidup manusia.
Demikian pula sebaliknya, Tentu saja yang disebut diatas adalah sekadar
contoh-contoh. Sungguh sangat luas lapangan amal saleh yang terbentang di
persada bumi ini. [2]
Menurut
Ibnu Kasir, ayat ini merupakan janji dari Allah Allah subhanahu wa ta ‘ala kepada orang yang mengerjakan amal
saleh, yaitu amal yang sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunah Rasul sallallahu ‘alaihi wa sallam, baik
laki-laki maupun perempuan, baik manusia maupun jin, sedang kalbunya merasa
tenteram dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, janji itu ialah bahwa
Allah akan memberinya kehidupan yang baik di dunia dan akan membalasnya di
akhirat dengan balasan yang lebih baik dari apa yang ia kerjakan. Kehidupan
yang baik mencakup seluruh jenis nikmat yang menggembirakan hati, baik di
dunia, maupun di akhirat.[3]
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda :
Sungguh
beruntunglah orang yang berserah diri yang diberi rezeki yang cukup, dan diberi
kepuasan oleh Allah subhanaha wa ta ala kepadanya dengan apa yang diberikanNya.
(Riwayat Ahmad dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-As) [4]
Hadis ini diriwayatkan pula oleh
Imam muslim, at-Tirmizi dan Ibnu Majah dari Riwayat Ibu Amr. [5]
Dalam
hadis yang lain, Imam Ahmad meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Allah
tidak menzalimi suatu kebaikan orang mukmin yang diberikannya di dunia dan
diberikannya pahala atasnya di akhirat. (Riwayat Ahmad dari Anas bin Malik )
[6]
Dari
penafsiran Surah an-Nahl ayat 97 yang telah disebutkan diatas dapat
disimpulkan, bahwa ayat tersebut merupakan salah satu ayat yang menekankan
persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam masalah pengabdian dan beramal
saleh, yang membedakannya hanya dalam kualitas ketakwaan mereka masing-masing
(al-Hujurat/49:13). Ayat ini juga menunjukkan betapa kaum perempuan dituntut
agar terlibat dalam kegiatan-kegiatan atau pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat
dan berkarir untuk kemaslahatan, baik untuk diri dan keluarganya, maupun untuk
masyarakat dan bangsanya, bahkan untuk kepentingan kemanusiaan seluruhnya.
Kalau laki-laki atau perempuan itu seorang yang beriman, Allah subhanahu wa ta ‘ala akan memberikannya
kehidupan yang baik di dunia dan balasan pahala yang lebih baik dari apa yang
mereka kerjakan.
Dengan
demikian, jelas bahwa agama Islam dengan berpegang dalam Al-Qur’an dan sunah
itu, tidak menghalangi perempuan untuk memasuki berbagai profesi sesuai dengan
keahliannya, seperti bekerja sebagai guru atau dosen, menjadi dokter,
pengusaha, menteri, hakim, dan lain-lain, bahkan bila ia mampu dan memenuhi
kriteria sebagai top leader boleh menjadi perdana menteri, atau menjadi kepala
negara, asalkan dalam tugasnya tetap memperhatikan hukum-hukum atau
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam, misalnya : tidak terbengkalai
urusan dan tugasnya dalam rumah tangga, harus ada izin atau persetujuan dari
suaminya bila ia seorang yang bersuami, juga tidak mendatangkan yang negatif
terhadap diri dan agamanya.
Hanya
saja dalam hal ini, ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum tentang boleh
atau tidak kaum wanita untuk menjadi hakim dan top leader (perdana menteri atau
kepala negara).
Jumhur
Ulama berpendapat, bahwa tidak boleh wanita menjadi hakim atau top leader
berdasarkan ayat Al-Qur’an Surah an-Nisa ayat 34 dan hadis Abu Bakrah yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari, Ahmad, an-Nasai dan at-Tirmizi bahwa Rasulullah
bersabda :
Dari
Abu Bakrah berkata, “Allah telah memberikan kemanfaatan bagiku dengan sebuah
kalimat saat peristiwa (perang) onta, tatkala sampai kepada Nabi (suatu kabar)
bahwa Persia telah dipimpin putri raja, beliau bersabda, Tidak akan bahagia
suatu kaum yang mengangkat pemimpin seorang wanita.” (Riwayat Al-Bukhari dari
Abu Bakrah)[7]
Berkenaan
dengan kepemimpinan laki-laki /suami dalam Surah an-Nisa/4:34, menurut Jawad
Mugmiyah dalam tafsir al-Kasyif, bahwa maksud ayat 34 Surah an-Nisa itu
bukanlah menciptakan perbedaan yang dianggap wanita itu rendah dibanding dengan
pihak pria, tetapi keduanya adalah sama, sedang ayat tersebut hanyalah
ditujukan kepada laki-laki sebagai suami dan wanita sebagai istri, keduanya
adalah rukun kehidupan, tidak satu pun bisa hidup tanpa yang lain, keduanya
saling melengkapi. Ayat ini hanya ditujukan untuk kepemimpinan suami saja,
memimpin istrinya. Bukan untuk menjadi pemimpin secara umum dan bukan untuk
menjadi penguasa yang diktator. [8]
Kebolehan
wanita untuk menjadi top leader ini ditopang oleh Al-Qur’an Surah
at-Taubah/9:71 :
Dan
orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan,sebagian mereka menjadi
penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat
kepada Allah dan Rasulnya . Mereka akan diberi rahmat oleh Allah, Sungguh,
Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (At-Taubah/9:71)
Dalam
ayat tersebut, Allah Subhanahu wa ta ‘ala
menggunakan kata ‘auliya (pemimpin), itu bukan hanya ditujukan kepada pihak
pria saja, tetapi keduanya (pria dan wanita) secara bersamaan berdasarkan ini,
wanita juga bisa menjadi pemimpin, yang penting dia mampu dan memenuhi kriteria
sebagai seorang yang akan menjadi pemimpin tertinggi karena menurut Tafsir
al-Maragi dan Tafsir al-Manar bahwa kata auliya tersebut dengan tafsiran yang
mencakup : wali penolong, wali solidaritas, dan wali kasih sayang. [9]
Tidak
ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, bahwa hadis Abu Bakrah tersebut tidak
membolehkan wanita untuk menjadi kepala negara Islam (khalifah)/ hakim. Ulama
berbeda pendapat hanya dalam hal wanita menjadi top leader (presiden dan
perdana menteri). Menurut Jumhur Ulama tidak boleh wanita menduduki jabatan
tersebut. Abu Hanifah membolehkan hakim wanita dalam masalah perdata dan tidak
membolehkannya dalam masalah jinayat, sementara Muhammad bin Jarir at-Tabari
memperbolehkan hakim wanita secara mutlak. Pendapat ini dikuatkan pula oleh
Ibnu Hazm dari aliran az-Zahiriyyah.[10]
Dr.
Kamal Jaudah mengatakan, “ Hadis tersebut diatas melarang wanita sendirian
menentukan urusan bangsanya, sesuai dengan sababul-wurud hadis ini, yaitu telah
diangkatnya Binti Kisra untuk menjadi ratu/pemimpin Persia. Sudah diketahui
bahwa sebagian besar raja-raja pada masa itu, kekuasaan hanya ditangannya
sendiri, hanya ia sendiri yang menetapkan urusan rakyat dan negerinya,
ketetapannya tidak boleh digugat. [11]
Berdasarkan
itu, selama dalam suatu negara, dimana sistem pemerintahan berdasarkan
musyawarah, seorang kepalanegara tidak lagi harus bekerja keras sendirian,
tetapi dibantu oleh tenaga-tenaga ahli sesuai dengan bidangnya masing-masing
(menteri-menteri) ditopang dengan alat-alat canggih seperti di abad ini dapat
lebih mudah memajukan negaranya serta menyelamatkannya dari bencana dan petaka,
maka tidak ada halangan bagi seorang wanita untuk menjadi perdana menteri/kepala
negara. Oleh sebab itu boleh saja wanita menjadi kepala negara, yang penting
adalah bahwa seorang wanita yang diangkat untuk menduduki jabatan itu memenuhi
kriteria syarat-syarat yang telah disebutkan diatas. Tentu saja dalam hal ini
selama masih ada kaum pria yang lebih layak, maka sebaiknya jabatan tersebut
diserahkan saja kepada kaum pria. Karena fitrah, kodrat masing-masing para
ulama berbeda pendapat dalam persoalan siapa antara pria dan wanita yang lebih
layak dan pantas untuk menjadi top leader.
Kalau
kita amati dewasa ini, hampir tidak ada lagi pekerjaan pria yang tidak dapat
dilakukan oleh wanita, walaupum tidak semua wanita itu dapat melakukannya,
meskipun pada zaman dahulu dianggap mustahil dapat dikerjakan oleh wanita
dengan alasan karena lemah fisik dan mental sesuai kodratnya. Sekarang bukan
lagi sesuatu yang mustahil, karena wanita mampu melaksanakannya di abad modern
ini, disebabkan kemajuan IPTEK dan perkembangan masyarakat.
Potensi
wanita sebagai salah satu unsur dalam pembangunan nasional di Indonesia tidak
disangsikan lagi, karena ± separuh penduduknya adalah wanita . Kalau potensi
yang besar ini tidak di dorong dan didukung serta dimanfaatkan secara optimal
dalam pembangunan Nasional, maka bangsa dan negara akan mengalami kelambanan
dan kemunduran. Namun, keterlibatan wanita dalam segala lapangan kehidupan dan
pekerjaan diluar rumah masih banyak mendapat tantangan, baik dengan dalih agama
dari golongan konservatif, maupun karena budaya. Menurut golongan konservatif ,
wanita hanya sebagai ibu rumah tangga, mendidik anak dan melayani suami, tidak
boleh mempunyai aktivitas di luar rumah, apalagi menjadi hakim dan top leader
(kepala negara atau perdana menteri), karena semua hal tersebut adalah tugas
dari laki-laki.
Kalau
sekarang ini kaum wanita sudah tampil ke depan dan mereka sudah banyak memasuki
berbagai profesi karena keahliannya, seperti menjadi guru/dosen, dokter,
pengusaha, menteri, hakim dan lain-lain, maka hal yang seperti ini telah
dilakukan pula oleh wanita Islam zaman dahulu. Hanya pelaksanaannya berbeda
sesuai dengan kondisi, apalagi dimasa-masa mendatang, karena semakin maju IPTEK
dan semakin berkembang masyarakat. Pada permulaan islam, banyak wanita Islam
yang terkenal alim serta ahli dalam berbagai disiplin ilmu. Mereka bukan hanya
menjabat sebagai guru, tetapi banyak pula setaraf mufti dalam urusan keagamaan,
bahkan adapula yang menjadi hakim dan lain-lain.
Tokoh-tokoh
wanita Islam yang mempunyai peranan penting dalam berbagai bidang, antara lain,
sebagai berikut :
1.
Khadijah binti Khuwalid (wafat 3 tahun sebelum hijrah, bertepatan dengan 519 M)
adalah wanita yang mula pertama menyatakan iman kepada Rasulullah, wanita
miliuner yang rela mengorbankan hartanya untuk menyiarkan agama Islam dan istri
yang setia dalam suka dan duka dan tidak pernah absen dalam mendukung
Rasulullah sallalhu alaihi wa sallam selama
25 tahun.
2.
Fatimah binti Rasulullah sallalahu
‘alaihi wa sallam (18 tahun sebelum hijrah s/d 11 tahun setelah hijrah,
bertepatan dengan (605-633 M), adalah orator ulung, dan fasih berbicara,
namanya lebih tenar lagi sewaktu ayahnya meninggal dunia, karena ia terjun ke
dunia politik, mati-matian mencalonkan karena Ali bin Abu Talib (suaminya)
sebagai khalifah pertama; walaupun perjuangannya dalam hal ini belum sukses,
dia sebagai politikus yang konsekuen sampai akhir hayatnya tetap mencalonkan
Ali bin Abu Talib sebagai khalifah. Ia wafat 6 bulan sesudah wafatnya
Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam (ayahnya).
3.
Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq (9 tahun sebelum hijrah s/d 58 hijrah,
bertepatan dengan tahun 613-678 M) adalah meriwayatkan 2210 hadis dan terjun ke
kancah politik pada masa khalifah Usman bin Affan beramar makruf, mengecam
tindakan khalifah yang dinilai sebagai tindakan yang tidak bijaksana, dan pada masa
khalifah Ali bin Abi Talib masih aktif dalam bidang politik, ia menjadi
komandan tertinggi perang melawan Ali, pada perang jamal, dan wanita yang
digelar “Humairah” (si merah delima) oleh Rasulullah sallalahu alaihi wa sallam, ketika menyuruh mempelajari separuh
ajaran agama darinya.
4.
as-Syifa, terkenal dengan Ummu Sulaiman binti Abdullah binti Abdusy-Syams
al-Adawiyyah al-Quraisyiyyah, nama aslinya Laila (wafat pada tahun 20 H
bertepatan dengan tahun 640 M) adalah guru wanita pertama dalam Islam. Sejak
sebelum Islam ia memberi pelajaran membaca dan menulis istri Nabi Sallallahu alaihi wa sallam yang bernama
Hafsah binti Umar, dan pada masa Rasulullah sallallahu
alihi wasallam ia diangkat sebagai guru wanita serta diberinya perumahan.
Ia juga pernah menjadi penasihat khalifah ke-2, Umar bin al-Khatab. Ia mendapat
tugas mengurus pasar.
5.
Rufaidah adalah pendiri rumah sakit yang pertama pada zaman Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam untuk
menampung semua orang-orang yang luka dalam peperangan, dan pendiri lembaga
pertama seperti yang kemudian dikenal sebagai Palang Merah, yang didirikan oleh
Dokter Swiss J.H Dunant dan yang diakui oleh konferensi Genewa pada tahun 1864
dan ia merupakan “Nighttingale” yang pertama di dalam sejarah international.
6.
Khansa, nama aslinya Tumazir binti Amr bin Haris bin Syarid dari Kabilah Mudar
(wafat pada tahun 24 H/645 M) adalah sejak zaman Jahiliah menjadi penyair yang
kenamaan, syairnya berirama sedih dan pada tahun 16 H, waktu terjadi perang
Qadisiyyah, ia mengirimkan 4 orang putranya maju ke medan perang : meskipun
keempat anaknya gugur di medan juang, peperangan dimenangkan dan wanita yang
berhati tabah, sulit dicari bandingannya; sewaktu berita kematian empat orang
anaknya, ia menyambutnya dengan senyum dan berkata, “Puji-pujian bagi Tuhan
yang telah memberikan kehormatan bagi saya dengan gugurnya mereka sebagai
syuhada.”
7.
Gazalah wafat pada tahun 77 H/696 M adalah pahlawan wanita yang gagah berani,
berjuang saling bahu-membahu dengan suaminya Syabib bin Yazid dan ia bersama
ibu mertuanya Muyairah tampil disamping suaminya dalam suatu pemberontakan
melawan Khalifah Abdul Malik bin Marwah dari Bin Marwan Bani Umayyah pada tahun
78 H dan ia wafat terbunuh oleh khalid bin Attab ar-Rubai dalam pertempuran
memperebutkan pintu gerbang Kota Kufah.
8.
Zubaidah (wafat tahun 216 H/ 81 M) adalah sosiawan yang jarang tandingannya; ia
adalah istri Khalifah Harun ar-Rasyid dan ialah yang membuat saluran air dari
sungai Tigris di Bagdad sampai pada Arafah di Mekah biayanya 1.500.000 dinar;
sampai sekarang saluran air itu masih terkenal dengan “Air Zubaidah” Mata air
Zubaidah, dan banyak membuat masjid, waduk-waduk untuk irigasi dan
jembatan-jembatan di wilayah Hijaz, Syam dan Bagdad.
9.
Abbasah (160-210 H/777-825 M) saudara perempuan Khalifah Harun ar-Rasyid adalah
pujangga wanita yang sangat mengagumkan dan mempunyai kelebihan dalam bidang
suara dan seorang penyair.
10.
Sayyidah, Ibu kandung Khalifah al-Muqtadir yang memerintah pada 295-320 H/
908-932 M adalah mengendalikan pemerintahan dari belakang layar, sebab putranya
khalifah al-Muqtadir memegang kekuasaan sejak masih kecil dan pembuka jalan
bagi berkuasanya kaum wanita dalam pemerintahan.
11.
Qahramanah/Ummu Musa, nama aslinya Masal; hidup pada masa pemerintahan Khalifah
Al-Muqtadir, sezaman dengan Sayyidah adalah merupakan hakim wanita pertama
dalam Islam; ia memegang jabatan hakim, banyak yang mengejeknya lantaran
jabatan itu dipandang tabu bagi kaum wanita; tetapi Qadi Abdul-Hasan
mengakuinya sebagai hakim yang ahli. Pada masa pemerintahan Khalifah
Al-Muqtadir, jadi sezaman dengan Sayyidah.
12.
Walladah (wafat pada tahun 480 H/1087 M) adalah penyair dan pujangga yang
mengagumkan, dan rumahnya ia sediakan untuk tempat pertemuan para pembesar
negara.
13.
Asy-Sya’irah al-rudiyyah (wafat pada tahun 450 H/1058 M) adalah sarjana wanita
yang luar biasa, dan menerima ijazah tentang ilmu sastra dari guru besar
Abdul-Mutrif Abdur-Rahman bin Galbun, dan karena ia seorang penyair besar, maka
sampai-sampai nama aslinya tidak dikenal orang, tetapi lebih terkenal dengan
profesinya.
14.
Laila Khatun (sezaman dengan sultan Salahuddin Al-Ayyubi, 567-589 H/1171-1193
M) adalah pahlawan wanita yang ikut berperang melawan kaum salib yang datang
dari Eropa dan diangkat menjadi “Regent” mendampingi putranya yang masih kecil
di Suriah, dan lain sebagainya.
Itulah
sebagian wanita-wanita Islam yang telah muncul dalam berbagai keahlian dan
profesinya dimana hal ini merupakan sanggahan kepada orang yang mengatakan
bahwa Islam atau fikih menghambat kaum wanita untuk bekerja dan maju. Padahal
sesungguhnya Islam / fikih itu tidak melarang wanita untuk bekerja dan maju,
asal tugas pokoknya tidak terbengkalai kalau dia seorang ibu atau istri, dan ia
tetap memerhatikan batas-batas / hukum-hukum yang digariskan agamanya.
Selanjutnya
berkenaan dengan tantangan perempuan dalam memperoleh dan menjauhi haknya untuk
keluar rumah beraktifitas seperti : menuntut ilmu, mengajar, menjadi pengusaha,
menjadi pejabat, dan lain-lain, sering terjadi karena pengaruh budaya atau salah
memahami teks-teks agama, sehingga dikatakan oleh sebagian orang bahwa semuanya
itu adalah tugas laki-laki, perempuan tidak boleh keluar rumah, misalnya dalam
memahami makna ayat 33 Surah al-Ahzab berikut :
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah
laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu. (al-ahzab/33:33)
Menurut
mereka, ayat ini memerintahkan kaum perempuan agar tetap tinggal di dalam rumah
dan tidak boleh keluar rumah, kecuali ada keperluan yang dibenarkan oleh agama.
Pandangan ini disebabkan karena tidak mengetahui konteks ayat tersebut
diturunkan.
Ayat
ini menurut konteks ayat sebelum dan sesudahnya, adalah ditujukan kepada para
Istri nabi sallallahu alaihi wa sallam bukan kepada seluruh perempuan muslimat.
Ayat sebelumnya menyebutkan :
“Wahai
istri-istri Nabi! Kamu tidak seperti perempuan-perempuan yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (melemahlembutkan suara) dalam berbicara
sehingga bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik. (al-Ahzab/33:32)
Sedangkan
sesudahnya berbunyi :
“Dan
laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai
ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (al-Ahzab/33:33)
Dalam
ayat tersebut, terdapat kata ahlul-bait (keluarga Nabi) yaitu firman Allah :
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai
Ahlul-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” Kata ahlul bait tersebut,
menunjukkan bahwa yang dimaksudkan yang tidak boleh keluar rumah adalah khusus
bagi istri-istri Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam, bukan untuk semua
perempuan muslim.
Sehubungan
dengan ini, Prof.K.H. Ibrahim Hosen, LML mengatakan bahwa, “Ulama yang
mengatakan ayat tersebut berlaku umum untuk semua perempuan, kemungkinan mereka
menganalogikan ayat ini kepada ayat yang ditujukan kepada Rasul. Selama tidak
menunjukkan khususiyyah, adalah juga ditujukan kepada umatnya. Mereka menganalogikan
khithab ayat yang ditujukan kepada istri-istri Rasul adalah juga ditujukan
kepada perempuan-perempuan muslim umumnya .” Kalau demikian, ayat-ayat tersebut
bertentangan dengan ayat 32 surah an-Nisa, yang menerangkan :
“Dan
janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada
sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari
apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang
mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh,
Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (an-Nisa/4:32)
Selanjutnya
Ibrahim Hosen mengatakan, “Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan berhak berusaha
dan mendapatkan bahagian dari hasi usahanya sebagaimana hak tersebut ada pula pada
kaum laki-laki.” Surah an-Nisa/4:32 ini sejalan dengan ayat 39 surah An-Najm :
“Dan
bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (an-Najm/53:39)
Yang
dikatakan insan (manusia) dalam ayat tersebut adalah laki-laki dan perempuan,
masing-masing tidak berhak memperoleh kecuali dari hasil usahanya. Tegasnya
ayat-ayat ini berkonotasi memberikan kebebasan kepada perempuan untuk berusaha,
hal mana menunjukkan perempuan dibolehkan keluar rumah, sedangkan ayat yang
ditujukan kepada istri Nabi tersebut menunjukkan mereka tidak boleh keluar rumah.[12]
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa perempuan-perempuan selain istri-istri
Nabi boleh keluar rumah untuk melaksanakan tugas amar makruf nahi mungkar,
menegmban profesinya sesuai dengan keahliannya, mencari kebutuhan hidup,
menjadi pejabat, dan lain-lain selama ketika mereka bekerja tetap memperhatikan
hukum-hukum serta aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Islam.
Dalam
kebijakan pemerintah Indonesia mengenai tenaga kerja, tidak dibedakan antara
laki-laki dan perempuan (UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 5).
UUD
1945 pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Makna yang terkandung
adalah kesempatan kerja merupakan hal penting dan mendasar dalam kehidupan
bangsa Indonesia. Segala upaya pembangunan harus diarahkan pada penciptaan
lapangan kerja, sehingga setiap warga negara dapat memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Sumber
daya manusia termasuk wanita sebagai penggerak pembangunan nasional dipadukan
antara aspirasi, peranan dan kepentingannya kedalam gerak pembangunan bangsa
melalui peran serta aktif dalam seluruh kegiatan pembangunan.
UU
No.13 tahun 2003 menggariskan bahwa perlindungan tenaga kerja meliputi hak
berserikat dan berunding bersama, keselamatan kerja dan kesehatan kerja, dan
jaminan sosial tenaga kerja yang mencakup jaminan hari tua, jaminan terhadap
kecelakaan, dan jaminan kematian serta syarat-syarat kerja lainnya perlu
dikembangkan secara terpadu dan bertahap dengan mempertimbangkan dampak ekonomi
dan moneternya, kesiapan sektor terkait, kondisi kerja, lapangan kerja dan
kemampuan tenaga kerja. Khusus yang menyangkut tenaga kerja wanita perlu diberi
perhatian dan perlindungan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya (UU No.
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 76, 81, 82, dan 83).
Sehubungan
dengan hal tersebut diatas, maka makna perlindungan kerja di Indonesia berlaku
secara umum baik bagi pria maupun untuk wanita. Namun berdasarkan pada
pandangan yang diakui secara universal bahwa fungsi reproduksi pada wanita
merupakan fungsi hakiki, oleh karenanya bagi tenaga kerja wanita diperlukan
perlindungan khusus. Dengan adanya perlindungan kerja diharapkan kehidupan
tenaga kerja wanita akan semakin sejahtera karena mampu melaksanakan berbagai
fungsi dan tanggung jawab secara serasi dan seimbang.
[3] Ibnu
Kasir, Tafsir Al- Qur’an Al-Azim, (Kairo : Al-Maktabah at-Taufiqiyyah, 1400
H/1980 M), Jilid II, h. 585
[7] Jalaluddin
asy-Suyuti, al-Jamius sagir, (Beirut : Darul-Kutub al-Ilmiyah, t.th), cet IV,
Jilid II, h. 128
[8] Muhammad
Jawad Mugniyyah, Tafsir al-Kasyif (Beirut : Darul-Ilmi lil-Malayin, 1968), Cet.
I, Jilid II, h. 314
[9] Ahmad
Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, (Kairo : Mustafa al-Babil Halabi wa
auladuh, 1338 H/1963 M), cet III, Jilid X, h. 159, Rasyid Rida, Tafsir
al-Manar, (Mesir : Darul-Manar, 1375 H, jilid II, h.626
[10] Abu
al-Mu’ati Kamal Jaudah, Wazifah al-Mar’ah fi Nazaril-Islam, (Mesir :
Darul-Hadi, 1400 H/1980 M), h.137, Ibnu Hazm Al-Muhalla, (Mesir : Al-Matba’ah
Al-Muniriyyah, t.th.), jilid I, h.97
[12] Ibrahim
Hosen, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Yayasan Institute Ilmu Al-Qur’an,
1974), h. 118-119
No comments:
Post a Comment