Thursday, 15 November 2012



Evaluasi Perencanaan Pengenaan pajak UKM dan Transaksi Online

            Akhir-akhir ini pemerintah tengah gencar mengupayakaan optimalisasi penerimaan pajak untuk menambah pendapatan Negara. Salah satunya adalah dengan mengenakan tarif pajak baru bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Kebijakan ini telah menjadi wacana sejak tahun 2011, namun baru ditindaklanjuti di tahun ini.
            Menurut pemerintah, pengenaan PPh bagi UKM adalah untuk memenuhi asas keadilan bagi warga negara dalam kewajiban membayar pajak. Bukan, semata-mata untuk menggenjot penerimaan pajak saja. Sebab, selama ini pekerja yang memiliki penghasilan sebesar Rp 2 juta pun harus dipotong untuk bayar pajak. Sementara, banyak UKM yang memiliki penghasilan belasan hingga puluhan juta rupiah sebulan belum tersentuh oleh pajak
Kebijakan tarif pajak yang akan dikenakan ke para pengusaha kecil terus  mengalami perubahan. Awalnya, Dirjen pajak mengusulkan tarif pajak sebesar 3-5 persen terhadap omset yang berkisar antara Rp 300 juta hingga Rp 4 miliar, namun hal itu diurungkan karena dianggap terlalu memberatkan pengusaha. Awal oktober 2011, pemerintah mengusulkan lagi tarif pajak UKM sebesar Rp 2% final bagi UKM dengan omzet usaha antara Rp 300 juta sampai Rp 4,8 miliar per tahun. Pajak itu terdiri dari pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 1%, plus pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp 1% Sedangkan bagi UKM dengan omzet di bawah Rp 300 juta tarif  pajaknya diusulkan sebesar 0,5% dari omzet. Kini, usulan yang berkembang berbeda lagi. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berniat mengenakan pajak penghasilan (PPh) secara rata sebesar 1% kepada UKM yang memiliki omzet dari Rp 0 sampai Rp 4,8 miliar per tahun.
            Kebijakan ini mendapat respon dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemkop UKM), yang menyatakan tak keberatan dengan tarif pajak 1% dari omzet bagi UKM. Tapi syarat minimum omzet UKM yang kena pajak adalah Rp 200 juta setahun. Pemerintah terlalu keterlaluan jika omzet  Rp 0 per tahun juga harus membayar pajak, hal ini tentu saja akan memberatkan UKM yang baru lahir dan berkembang. Dengan omzet usaha Rp 200 juta berarti rata-rata perputaran usaha setiap bulan cuma sekitar Rp 18 juta. Dengan keuntungan 15% atau 20%, paling pendapatan bersihnya hanya Rp 2,7 juta - Rp 3,6 juta saja sebulan. Artinya penghasilan UKM dengan skala ini masih ada di kisaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP), yang tahun depan bakal dinaikkan dari Rp 15,8 juta setahun menjadi Rp 24,3 juta, atau sekitar Rp 2 juta sebulan.
            Agar tercipta keadilan, sebaiknya, pengusaha kecil dengan omzet usaha sampai Rp 200 jutaan tidak dikenakan pajak. Karena laba bersih usaha kecil ini hanya sekitar 10% dari omzet usaha mereka, sehingga sepanjang tahun, laba bersih hanya sekitar Rp 25 juta atau setara dengan penghasilan tidak kena pajak.
Belum lagi, jika UKM mengalami kerugian, apakah pantas dikenakan pajak?.
pemerintah harus memberikan perhatian dan perlindungan kepada UKM supaya dapat berkembang, bukan justru mengkerdilkannya.
            Menteri Keuangan AgusD.W.Martowardojo, berjanji akan memberikan kriteria khusus bagi badan usaha mikro agar mendapat keringanan atau bahkan pembebasan pajak badan atas dasar omzet yang sedang dalam penggodokan. pemerintah akan menentukan kriteria khusus agar pedagang kaki lima dan pedagang eceran yang sederhana tidak perlu membayar pajak. Selain itu, UKM di sektor mikro juga akan mendapatkan perlakuan khusus.
            Sementara, Mantan Dirjen Pajak Fuad Bawazier mengatakan bahwa
tidak pantas jika pemerintah mengejar pajak dari sektor UKM untuk meningkatkan penerimaan pajak negara. Harusnya justru perusahaan besar yang dikejar pemerintah. Karena masih banyak perusahaan asing yang menunggak pembayaran pajak, bahkan tidak bisa diharapkan lagi pembayarannya. UKM itu tidak ada pembukuan dan pencatatan, jadi Cukup disederhanakan PPh maksimal 0,5-1% dari penjualan maksimal. Masa pengusaha mikro dipajaki, mikro itu omzetnya Rp 5 miliar ke bawah penjualannya, jangan dibikin rusuh.
            Selain perencanaan pengenaan pajak UKM, pemerintah juga tengah merencanakan pengenaan pajak untuk transaksi online. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menilai transaksi online bisa menjadi potensi pajak. Oleh karena itu, DJP tengah mengevaluasi cara mengenakan pajak pada transaksi online. sampai saat ini regulasi perpajakan di Indonesia memang belum mengatur pengenaan pajak pada transaksi perdagangan online. Karena itu, kini pemerintah tengah mengebut kajian penerapan pajak transaksi online dengan menggunakan referensi regulasi perpajakan di negara lain yang sudah menerapkannya.
            Sebagai gambaran, informasi dari beberapa konsultan perdagangan online menyebut nilai transaksi online di Indonesia pada tahun ini diperkirakan sudah menembus angka 260 juta dolar AS atau sekitar Rp2,4 triliun. Pada 2013, nilainya diproyeksi melonjak hingga 470 juta dolar AS (sekitar Rp4,4 triliun) dan pada 2014 bakal mencapai 770 juta dolar AS (sekitar Rp7,2 triliun). Namun demikian, saat ini Direktorat Jenderal Pajak masih kesulitan untuk mengakses data transaksi perdangan online via internet. Sebab, belum ada regulasi mengenai bagaimana pelaporan transaksi online tersebut. Sehingga hal ini masih sebatas wacana dan pemerintah akan mempelajarinya terlebih dahulu.
            Rencana pengenaan pajak dalam transaksi online ini, menjadi hot issue di kalangan masyarakat terutama di jejaring social seperti twitter dan facebook. Berbagai macam tanggapan dilontarkan oleh public. Tentu saja ada yang pro dan ada yang kontra. Tergantung dari sisi mana mereka memandangnya.         
Pada dasarnya, pemerintah boleh saja mengupayakan optimalisasi penerimaan pajak dengan membuat regulasi perpajakan baru terhadap UKM dan transaksi online, asalkan  uang pajak tersebut digunakan dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat seperti membangun akses jalan di tempat atau desa-desa terpencil di Indonesia, memberikan pengobatan gratis bagi masyarakat yang tidak mampu, membangun sekolah gratis di pelosok daerah,  dan lain sebagainya. Masyarakat pasti akan merelakannya, namun jika uang pajak itu di korupsi oleh pegawai pajak, mungkin masyarakat akan berpikir untuk apa membayar pajak ?? jangan sampai slogan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat berubah menjadi dari rakyat, oleh rakyat, untuk koruptor.